32: Persidangan Keadilan

52 10 0
                                    



































Trigger Warning:

This chapter contains sensitive content such as cursing and domestic abuse.

Jadilah pembaca yang bijak.































≈≈≈

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

≈≈≈

Rumah itu masih sesepi hari-hari yang lalu. Sejak Joice pergi, keadaan rumah itu semakin hampa. Ayah dan ibunya terus berdebat setiap hari, sementara Milky dirawat asal-asalan dan sudah beberapa kali lupa diberi makan.

"Mas," panggil ibu Joice.

Suaminya tak menjawab apa-apa.

"Besok Joice ke pengadilan buat sidang kasus temennya. Mas nggak mau datang?" tanyanya.

"Ngapain?"

"Ya, buat ngasih support, Mas!"

"Anak kurang ajar gitu ngapain dikasih support?" ucapnya santai sembari membaca koran. "Makin nakal juga. Aku tahu, Joice diskors, kan?"

Wanita yang tadinya berusaha menahan amarah itu tak bisa menahan rasa kesalnya lagi. "Mas!" bentaknya. "Aku nggak tahu lagi harus bilang apa! Gimana sih caranya supaya kamu tuh sadar kalau Joice itu anak kita? Joice itu tanggung jawab kita, Mas!"

"Emang aku kurang tanggung jawab apa?" tanya pria itu. "Joice tinggal sama Arsel, aku juga tetep kirim uang buat biaya perawatannya dia, kan? Menurutmu itu bukan tanggung jawab?"

"Cukup, Mas!" bentak wanita itu. "Kalau kamu terus mengutamakan egomu itu, lebih baik kita pisah. Aku minta cerai!"

"Bagus!" jawabnya. "Aku juga udah males ngurusin kamu!"

Pria itu berdiri dari duduknya, lalu masuk ke kamar dan menutup pintunya dengan kasar. Ibu Joice menangis di ruang tamu, sementara ayahnya mengunci diri sembari mengepalkan tangan menatap tembok. Ia melihat foto keluarganya, di mana Joice dan Aksa masih menjadi anak yang baik dan menurut padanya. Apakah ia terlalu kasar? Ia mulai mempertanyakan itu dalam batinnya. Namun, mengingat bahwa kedua anaknya kini tak lagi berada dekatnya membuat pria itu kembali naik pitam.

"BAJINGAN!!!"ujarnya sembari melempar foto keluarganya. Suaranya begitu kencang hingga istrinya dapat mendengar sumpah serapahnya dari ruang tamu.

Sementara itu, Joice berusaha menenangkan pikirannya di halaman rumah Arsel. Di saat-saat seperti ini, agaknya hukuman skors tidak seburuk itu. Malah Joice bersyukur, karena dengan hukuman ini ia jadi ada waktu untuk beristirahat sejenak, mempersiapkan persidangan yang hanya tinggal sehari lagi. Gadis itu duduk menghadap bunga-bunga di taman rumah Arsel yang rumputnya hijau. Matanya terpejam sementara tangannya memainkan lagu favoritnya dengan biola. Apa lagi kalau bukan Somewhere Only We Know?

Laut di Utara: The Northern SeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang