22: Ruang Sidang

111 17 5
                                    































Trigger Warning:

This story contains sensitive content such as depression, cursing, self-harming, mentions of blood/wounds traumatic disorder, death, and murder.

Jadilah pembaca yang bijak.
































≈≈≈

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

≈≈≈

Allen di kamarnya saat ini sedang merebahkan tubuhnya, menghadap ke langit langit sembari mengelupas darah kering dari luka-luka sayatannya. Ponselnya ia letakkan jauh di meja belajarnya, karena ia tahu bahwa membuka benda pipih itu hanya akan menambah beban pikiran saja.

Ia tidak tahu, apakah kesalahannya memang sebesar ini atau ia hanya sedang sial. Apakah ini semua layak untuk ia dapatkan? Apakah ia memang harus dihukum seperti ini atas apa yang pernah ia perbuat dan tidak ia perbuat?

Mungkin Allen harus belajar terbiasa. Terbiasa menahan hujatan dan kebencian, dan belajar bagaimana cara untuk bertahan sebagai seorang korban setelah sekian lama menjadi seorang pelaku.

"Beritanya makin menyebar luas, Mas. Kalau terdengar sampai Jakarta, malu kita! Malu! Apa kata orang tentang perusahaan kita nanti?" Allen tahu betul, itu suara ibunya yang sedang berbicara di depan kamarnya.

"Ya, gimana? Aku juga bingung!"

Allen mendekatkan telinganya ke pintu, berusaha mendengar percakapan orang tuanya dengan lebih jelas.

"Mas, aku ada ide!" kata ibunya.

"Apa lagi?" balas sang ayah.

"Gimana kalau kita bayar orang buat ngaku jadi pelaku pembunuhan itu?"

"Uang lagi? Kamu pikir kita nggak rugi kalau ngeluarin uang terus?" tanya sang suami.

"Terus mau gimana lagi, Mas? Kamu mau nama perusahaan jadi jelek karena anak kita ditangkep polisi?"

Allen sakit hati mendengar itu. Di situasi seperti ini, kedua orang tuanya masih lebih mementingkan uang ketimbang anaknya. Allen tak minta yang macam-macam, ia hanya ingin diberi satu kesempatan untuk jujur dan menceritakan cerita ini dari sudut pandangnya. Itu saja!

"Kamu kira nyari orang biar mau ngaku jadi pembunuh itu gampang?" tanya sang ayah.

"Aku udah ada target, Mas!"

"Siapa?"

"Kamu tau Pak Willy, tukang kebun di sekolah?" tanya sang istri. "Orang itu yang pertama kali nemuin Juna dengan keadaan berdarah-darah setelah didorong sama anak kita! Dia 'kan, miskin... pasti mau kalau dibayar buat ngaku-"

Laut di Utara: The Northern SeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang