27. Dista

104 11 2
                                    

Selepas mengantar Lisa pulang, rasanya Dista tidak ingin balik ke rumahnya malam ini, namun ia mengingat bundanya.

Dista memarkirkan mobilnya di halaman rumahnya. Bertepatan ia keluar dari mobil, mobil ayahnya yang baru datang juga memarkirkan di sampingnya.

"Keberangkatan kamu dipercepat satu bulan lagi," kata Wijaya selepas keluar dari mobil, lalu ia berjalan mendahului Dista.

"Perjanjian tetap perjanjian," ujar Dista saat ia mensejajarkan langkahnya dengan Wijaya untuk masuk ke dalam rumah.

"Kamu di sini cuman keluyuran gak jelas!" ujar Wijaya tanpa menoleh ke Dista.

"Bukannya yang terpenting tugas saya di perusahaan tetap terjalankan dengan baik?" Sudah kebiasaan Dista yang menjadi kaku dan menjadi formal saat berbicara dengan ayahnya. "Sudah sering saya bilang. Saya juga punya kehidupan sendiri," lanjut Dista dengan pembawaannya seperti biasa, tenang.

Wijaya memberhentikan langkahnya. "Satu bulan atau saya buat pacar kamu menjauh dari kamu dengan sendirinya?!"

"Dan sudah berapa kali juga saya bilang! Jangan pernah libatin pacar saya!" kata Dista penuh penekanan. "Saya akan tetap pergi dengan waktu sesuai perjanjian!" ujarnya sebelum beranjak meninggalkan Wijaya.

"SAYA TUNGGU LIMA MENIT DI RUANGAN SAYA!" titah Wijaya sangat tidak terbantahkan yang menggema diseluruh rumah. Lalu ia beranjak dari sana ke ruang kerjanya.

Dista yang sudah berada di beberapa anak tangga langsung berbalik untuk kembali turun ke bawah dan menuju ruang kerja Wijaya. Sesampainya di sana Dista sudah tahu apa yang terjadi. Ia melepas jaketnya dan langsung bersimpuh membelakangi Wijaya.

"Harus berapa kali saya bilang, jangan pernah bantah ucapan saya!"

Plak...

Seperti tidak ada beban pecut dilayangkan ke punggung Dista.

Dista memejamkan matanya begitu kuat, sama sekali tidak ada rintihan atau suara apapun yang terdengar dari mulut Dista, karena rasa sakit bercampur perih itu, ringisannya ia redam dengan suara yang tertahan ditenggorokan.

Setelah menetralisir rasa sakitnya, Dista berdiri sambil memasang jaketnya kembali dan menetap lekat Wijaya dengan tatapan penuh makna.

"Kalau benaran laki-laki, ia gak akan kemakan janjinya sendiri!" Lalu ia beranjak dari sana.

Saat keluar dari ruangan Wijaya, ia melihat Bundanya di depan pintu dengan masih menenteng jas dokternya, karena baru pulang.

Sangat sakit rasanya Mita melihat anaknya yang sering disiksa oleh ayah kandungnya sendiri. "Dista," ucap Mita lemah dengan mata yang berkaca-kaca.

Dista merangkul Mita. "Bunda jangan nangis. Kan Bunda tahu sendiri kalau Dista anaknya kuat." Hanya kata seperti itu yang bisa Dista ucapkan untuk berusaha membuat sang ibu tidak terlalu mengkhawatirkannya.

"Maafin, Bunda," kata Mita yang sangat merasa bersalah pada anak bungsunya ini.

"Gak pa-pa, Bunda," ujar Dista. "Yaudah, kalau gitu Dista mau istirahat dulu."

Dista menuju kamarnya yang ada di lantai 2. Sesampainya di kamar ia langsung ke kamar mandi untuk membersihkan badannya yang terasa lengket.

Membiarkan rasa perihnya diguyur air hangat. Perih yang terasa seperti menjalar ke seluruh tubuh.

Merasa cukup lama berada di bawah shower, ia mematikannya dan mengeringkan badannya dengan handuk. Lalu beranjak dari kamar mandi ke walk in closet.

Hanya sebentar ia mengenakan pakaian rumahnya, kemudian Dista langsung merebahkan badannya ke kasur.

"Huh," terdengar begitu jelas helaan nafas Dista.

PersistOù les histoires vivent. Découvrez maintenant