44. Membaik

21 3 1
                                    

Setelah pingsan semalam dan menginap satu malam di UGD, Lisa kembali ke ruang Dista di rawat setelah merasa kondisinya lebih baik. "Abang, Dista di mana?! Kenapa Nggak ada?" tanya Lisa panik saat brankar Dista kosong.

"Tenangin diri lo dulu kalau mau gue kasih tahu," kata Raka.

"Sekali ini aja jangan rese, Bang!" kesal Lisa yang membuat Raka menarik Lisa dan membawanya ke tempat Dista berada.

Ruangan VVIP 08, pandangan pertama kali yang difokuskan oleh Lisa. "Maksudnya gimana, Bang?"

"Masuk aja sana!" suruh Raka yang diangguki Lisa patuh dan masuk ke dalam ruang inap tersebut.

Hal yang pertama kali ia lihat adalah Dista yang berbaring di atas brankar dengan keadaan mata masih tertutup tetapi sudah bebas dari alat-alat medis yang memenuhi tubuhnya, hanya tersisa selang oksigen dan tangan yang diinfus.

"Dista udah lewatin masa komanya. Kita tinggal nunggu dia sadar," kata Raka yang berada di belakang Lisa yang masih terpaku di depan pintu.

Lisa menatap Raka tak percaya. "Kalau nggak percaya, nggak mungkin kan Dista dipindahin ke ruang inap?" ujar Raka yang diangguki Lisa.

Lisa berjalan menghampiri brankar Dista dan langsung terduduk di kursi samping brankar Dista. Lisa menumpahkan air mata bahagianya. "Dis, makasih! Makasih udah mau bertahan! Makasih udah kuat!" ucap Lisa.

"Nggak usah nangis lo!" kata Raka yang berdiri di samping Lisa.

"Lisa kan terharu, Bang," ujar Lisa sambil mengelap air matanya.

"Emang dasarnya lo cengeng."

Lisa mendelik kesal ke arah Raka. "Bunda mana?"

"Apa?! Mau ngadu?"

"Nanya aja, Bang Raka," ujar Lisa gregetan.

"Lagi kerja lah."

"Bang Raka, Bang Raka baik kan?" kata Lisa yang memiliki niat terselubung.

"Mau apa?" tanya Raka to the point, karena paham gelagat Lisa.

"Lisa lapar."

"Gue beli dulu," kata Raka yang diangguki senang oleh Lisa.

Lisa benar-benar merasa memiliki saudara atas kedekatannya dengan Raka, dan Raka pun sangat menunjukkan perhatiannya pada Lisa seolah-olah Lisa merupakan Adik perempuannya, walaupun Lisa sering dibuat naik darah oleh kelakuan Raka.

"Nih, makan!" suruh Raka saat ia kembali dengan membawa satu bungkus makanan.

"Makasih, Abang."

"Ada maunya aja baru baik-baikin gue," sindir Raka pada Lisa yang telah duduk di kursi meja makan.

"Jangan fitnah Lisa mulu," ujar Lisa santai, lalu ia memasukkan makanannya ke dalam mulutnya.

"Iya, cengeng," ujar Raka yang duduk di sofa.

"Dont call me cengeng, but call me prettiest."

"Pret," ejek Raka sambil membuka iPad-nya. "Jangan ganggu gue! Gue mau kerja dulu!"

"Iya-iya."

"Bang Raka," panggil Lisa setelah menyelasaikan makannya pada Raka yang terlihat serius dengan iPad-nya.

"Hm," jawab Raka berdehem.

"Minggu wedding-nya, Dion. Bang Raka juga diundang kan?" tanya Lisa saat bergabung duduk di sofa.

"Iya. Terus?" tanya Raka tanpa mengalihkan pandangannya dari pekerjaannya di iPad.

"Lisa bingung. Lisa nggak mau ninggalin Dista, takut Dista sadar, tapi satu sisi Lisa diminta buat berpartisipasi di wedding-nya." Lisa menghela nafasnya lalu bersandar di sandaran sofa.

PersistWhere stories live. Discover now