28. One Step

169 13 10
                                    

Hari ini pikiran Dista merangkap dengan berbagai hal. Permasalahan Ayahnya, Bundanya, perusahaan. Bahkan handphone pun sama sekali tidak ada tersentuh.

Dista berharap Lisa bisa mengerti akan hal ini walaupun ia tidak ada memberi kabar, dan baru pertama kali ini ia tidak meninggalkan kabar pada Lisa.

Setelah semalaman berjaga di rumah sakit, Dista langsung ke kantornya, karena hari ini benar-benar beruntun menghadapi pertemuan dengan klien.

Ayahnya? Dista diberitahu tangan kanan Wijaya kalau Ayahnya sedang bepergian ke luar kota. Untuk alasannya pun ia tidak mengetahui, karena tangan kanan Wijaya pun tidak diberi tahu kalau bepergian ke mana.

Tentu itu juga menjadi perhatian Dista, dan ia sudah menyewa orang untuk mencari keberadaan Ayahnya, karena setelah kerjaannya hari ini dapat terselesaikan, permasalahan selanjutnya yang harus cepat ia urus adalah permasalahn dengan Ayahnya.

Benar kata Kakaknya, dia tidak bisa terus-menerus diam, dan mengikuti titah Bundanya yang sudah buta akan rasa cinta pada Ayahnya.

Tok... Tok... Tok...

Ketukan pintu memecahkan fokusnya dari layar laptop. "Masuk!" kata Dista.

"Ini laporan mengenai Tuan Wijaya," ucap seseorang yang Dista suruh masuk tadi.

Dista mengambil amplop yang diberikan oleh Bara ---orang yang Dista suruh untuk mencari keberadaan Wijaya.

"Keberangkatan ke Bali?" tanya Dista heran setelah mendapati bukti pemesanan tiket online. Setahu Dista dan seingatnya perusahaan yang ada di Bali sedang stabil dan tidak ada projek apapun kalau hal perusahaan yang benar-benar menjadi alasan Wijaya untuk ke sana, dan setahunya Ayahnya itu tidak akan turun langsung kalau dua hal yang disebutkan sebelumnya tadi tidak terjadi.

Ia melihat lembar berikutnya yang menunjukkan beberapa foto kalau Wijaya sedang berada di sebuah restoran bersama dengan wanita, dan paling membuatnya terkejut wanita itu ia sangat mengenalinya.

"Info apa yang kamu dapat tentang wanita difoto ini?" tanya Dista pada Bara.

"Namanya Helena Primaswara anak dari pemilik Primaswara Corp. Ibu dari pacar, Tuan. Tuan Wijaya sama Nyonya Helena mengenal satu sama lain sejak duduk di bangku SMA," jelas Bara sesuai informasi yang ia dapat.

Dista memijit pelipisnya. "Selain itu?"

"Baru itu saja yang saya dapat."

"Tolong tetap awasi, dan segera beri tahu saya kalau ada informasi terbaru," ujar Dista yang diangguki patuh oleh Bara.

"Baik. Saya permisi dulu," ujar Bara yang diangguki Dista. Kemudian Bara beranjak keluar dari sana setelah Dista mengucapkan terima kasih padanya.

Dista berkali-kali menghela nafasnya kasar, dengan pikiran menerka-nerka berbagai kemungkinan terjadi ke depannya.

Ia melirik jam yang menempel pada dinding ruangannya. Jam yang menunjukkan pukul 14.00 WIB. Ia beranjak meninggalkan ruangannya selepas merelaksasikan sebentar badan dan otaknya.

Dista meninggalkan ruangannya menuju parkiran mobilnya dan menjalankannya menuju rumah sakit di mana Bundanya dirawat.

"Apa sih yang Bunda pertahanin dari Wijaya?!" kata Raka yang Dista dengar saat ia membuka pintu ruang inap Mita.

Lagi-lagi Dista menghela nafasnya kasar. Ia berpikir apakah tidak bisa Kakaknya ini nanti saja berbicara permasalahan Ayahnya disaat Bundanya lagi sakit saat ini.

"Kita tanpa Wijaya juga bisa hidup, Bun! Wijaya itu cuman numpang sama Bunda! Jadi apa yang dipertahanin?!" kesal Raka masih dengan nada rendahnya.

PersistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang