49. Our

29 2 2
                                    

Tidak bisa Dista berlarut-larut dalam kesedihan mengenang sang Kakek-Nenek, karena ia juga sekarang memiliki tanggung jawab besar pada perusahaan yang diwariskan sang Kakek. Sang Kakek mewariskan limapuluh persen perusahaan atas namanya.

Ketukan pintu tak mengalihkan pandangan Dista dari layar laptop. "Masuk!"

"Sibuk banget, ya?" Suara itu berhasil membuat Dista mengalihkan pandangan.

"Come here, Dear." Dista merengkuh pinggang Lisa untuk duduk dipangkuannya.

"Kamu niat nikah nggak sih?" kesal Lisa pada Dista yang tengah memeluknya.

Dista mengeratkan pelukan pada sang kekasih yang berada dipangkuannya. "Iya, Sayang."

"Lepas dulu, Yudista." Dista menggeleng.

"Kalau nggak Mamah dan Bunda ingatin, mungkin pernikahan kita batal!" Dista melepaskan pelukannya dan melingkarkan kedua tangannya di pinggang Lisa.

"Emang kenapa?" tanya Dista dengan polosnya.

Lisa mendengus kesal. "Siang ini jadwal fitting."

Dista menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Reschedule, Sayang."

Lisa melotot mendengar pernyataan Dista. Ia turun dari pangkuan Dista. "Nggak usah nikah aja sekalian!" kesal Lisa.

Dista dengan cepat menghalangi Lisa saat ingin membuka pintu keluar. "Aku hari ini meeting sama klien dari luar negeri, Sayang. Nggak mungkin aku reschedule meeting itu."

"Sudah semuanya Bunda sama Mamah yang ngurusin, terus fitting baju doang minta di reschedule," sinis Lisa. "Yang mau nikah kita bukan Bunda sama Mamah."

"Itu juga bukan kemauan kita kan? Bunda sama Mamah yang memang mau ngurus."

Tidak salah, batin Lisa. Tapi, maksudnya di saat semuanya sudah di urus, ada satu hal yang dapat mereka lakukan dan menghargai jadwal yang sudah dibuat.

"Nanti aku yang ngomong sama Mamah," ucap final Dista, karena Helena seorang fashion designer, ia turun tangan langsung merancang gaun pengantin anaknya.

Lisa yang sudah berujung kesal sekali, ia sudah malas menanggapi Dista kali ini. "Terserah. Aku mau balik."

Dista menggeser badannya dari depan pintu. "Keluar kalau bisa."

Dista menyunggingkan senyumnya puas saat Lisa gagal membuka pintu. "Nggak diizinin balik, Lis."

Lisa menatap horor Dista. "Mana kuncinya?!"

"Kamu lupa pintu aku nggak pakai kunci?"

Memang pintu ruang kerja Dista di kantornya tidak memakai kunci manual, tetapi memakai fingerprint. Apabila Dista ingin mengunci ruangannya ia cukup menempelkan ibu jarinya, begitu juga saat ingin membuka pintu kembali.

"Jangan buat aku makin kesal, Dis! Buka pintunya!"

"Masuk kamar aku! Tunggu aku meeting! Selesai meeting baru ke tempat fitting," tegas Dista yang membuat lagi-lagi Lisa menghela nafasnya kesal.

Mana bisa dibantah calon suaminya. "Yudista sialan!" gumam Lisa sambil melewati Dista.

Lisa benar-benar tidak menyadari umpatannya. Tangannya langsung di cekal Dista dan ia dihimpit Dista ditembok.

"Coba ngomong sekali lagi!" ucap Dista dengan nada datarnya.

Nafas Dista menyapu seluruh permukaan wajah Lisa, karena mukanya sangat dekat dengan muka Dista. Lisa berani? Tentu tidak, ia memiringkan wajah menghindari tatapan Dista.

PersistWhere stories live. Discover now