31. Third Step

44 3 0
                                    

Dista rasanya ingin sekali masalah tentang Ayahnya ini cepat terselesaikan, namun dia tidak mungkin langsung melaporkan tindak pidana tanpa adanya berbagai macam bukti. Selain bukti kekerasan yang ia dan Bundanya alami, Dista juga ingin mencari barang bukti kalau Wijaya juga menyalahkan kekuasaan demi kepentingan pribadi dalam bisnis keluarga Freano.

Ia merasa ada kejanggalan dalam salah satu bisnis keluarga Freano, yaitu masalah penyelewengan dana tahun lalu pada bisnisnya yang ada di salah satu kota, bisnis yang hampir dituntut karena tidak dapat membagikan keuntungan kepada para investor.

Klik...

Tidak perlu bertanya-tanya siapa yang membuka pintu ruang kerjanya tanpa permisi, hal itu juga atas suruhan Dista. Kalau Andra sudah sampai, tinggal masuk saja ke ruangannya, karena sekretaris Dista sedang memanfaatkan waktu istirahat.

"Apa yang ditunda?" tanya Andra mengarah pada pelaporan Wijaya.

"Masih mencari keakuratan data di Sulawesi. Gue berpikir bagian keuangan di sana memang kerjasama dengan Wijaya," jelas Dista dengan pandangan yang masih fokus dengan layar laptop.

Andra yang sudah duduk disofa ruangan Dista hanya diam menunggu penuturan Dista selanjutnya.

"Bodoh!" umpat Dista, tetapi ia menunjukkan senyuman kemenangan. "Wijaya lupa kalau cuman perusahaan di Sulawesi yang ia pegang seratus persen, otomatis dia nggak bisa mainin dana di perusahaan lainnya. Perusahaan di Sulawesi pun cuman punya tiga proyek. Dua proyek yang aman di sana sudah berganti kepemilikan, karena menutupi satu proyek yang bermasalah itu. Bodohnya Wijaya tidak ada laporan pengeluaran yang bersumber dari investor. Pemasukan dari investor ada, pengeluarannya nggak ada, dan uang pemasukan investornya pun nggak ada," jelas Dista.

"Gue punya berkas pembelian penthouse ditempat gue atas nama orang lain pembayaran dari rekening Wijaya, file udah gue kirim ke email lo," ujar Andra.

"Berlina Alexia," gumam Dista setelah mencek email dari Andra. "Thanks, Ndra". Dengan cekatan Dista meneruskan identitas Berlina kepada Bara untuk mengetahui siapa perempuan tersebut.

"Secepatnya hal ini gue serahin ke persidangan," ujar Dista lagi yang diangguki Andra, kemudian Andra beranjak dari duduknya dan meninggalkan ruangan Dista.

Dista menghela nafas begitu lega dan merilekskan bahunya dengan bersandar pada sandaran kursi kerjanya. "Thanks, God" ucap Dista.

Dista mengambil handphone-nya di atas meja dan membuka room chat bersama sang kekasih. Begitu banyak pesan Lisa yang menceritakan kesehariannya, tapi belum sempat ia tanggapi. Lalu ia menghubungi Lisa. "Sorry, dear" ucap Dista pertama kali saat panggilan terhubungan. "Maafin aku beberapa hari belakangan ini gak respon chat maupun telpon kamu".

"It's ok, Dis," ucap Lisa tulus.

"Thank you so much and i miss you so much. Let's we meet," ujar Dista.

"Mau!" ujar Lisa senang di seberang sana yang membuat senyuman Dista mengembang. "Satu jam lagi aku udah sampai rumah kamu," ujar Dista.

"Ok, Sayang. Hati-hati. Aku mau prepare dulu," ujar Lisa kemudian memutuskan hubungan telpon mereka.

Dista bergegas mengganti pakaian santainya, lalu beranjak dari kantornya menuju rumah Lisa. Seperti ucapannya ditelpon tadi, bahwa satu jam lagi ia sudah sampai di rumah Lisa.

Sesampainya di depan pagar rumah Lisa, berbarengan dengan pagar terbuka dan Lisa keluar dengan senyum merekah. Senyumnya Lisa tentu disambut pelukan hangat oleh Dista saat Lisa sudah memasuki mobilnya. "I miss you so much, dear," ucap Dista dan makin mengeratkan pelukannya.

PersistWhere stories live. Discover now