Selembar Kertas

1.5K 316 3
                                    

"Harusnya lo kasih tau gue kalo kertasnya masih lo gunain! Ya jangan salahin gue dong! Gue kira nggak lo pake lagi!" kesal Lisa.

Rose mengusak rambutnya, menampilkan wajah frustasi.

"Harusnya lo lihat itu kertas apa dulu Lisaaa sayaaaang!!!"

Lisa mengendikkan bahunya, "Ya kalo lo mau ambil sih, tinggal bedah tong sampah."

"Lo yang buat! Lo yang bertanggung jawab!" Rose membalikkan badannya cepat ke arah sang sahabat. Memberikan tatapan mematikan.

Lisa berdecak, mengangkat kedua kakinya dengan posisi layaknya seorang preman.

"Ya udah deh maap. Nanti gue ganti satu pack buku tulis."

"Bukan itu masalahnya! Itu jadwal klub sepak bola belum gue copy!" Hampir saja Rose menggaruk wajah Lisa jika saja gadis itu tidak segera menjauhkan wajahnya.

"Ya salah lo. Ngapain itu kertas bisa teronggok di lantai?? Semua orang juga bakal nganggep itu kertas udah nggak digunain!" Lisa masih membela diri. Enggan disalahkan. Mengingat terkadang Rose sangat ceroboh.

"Lo yang lebih bodo karena liat kertas yang udah jatuh di lantai, tapi masih lo pake buat lambaran makan batagor!"

Pantas saja Rose marah. Jika memang Lisa membutuh piring namun tidak ada piring disekitarnya, harusnya gadis itu mencari barang yang lebih spesifik sesuai kegunaannya. Bukan malah selembar kertas yang sudah jatuh ke lantai. Bahkan gadis itu makan batagor dengan khidmat.

"Salah gue gitu?" tanya Lisa.

"Yaiyalah!" seru Rose dengan alis mengerut tak santai.

"Trus sekarang gue harus gimana dong?? Pak Adam pasti marahin gue! Ah lo mah." Rose mengetuk keningnya bercampur rasa frustasi.

"Noh mas pacar dateng. Oy Tian, lo macem saiton tau nggak??" Lisa turun dari meja, membuang bungkus batagor kedua yang telah habis ia makan. Menepuk bahu Rose pelan, ijin pergi dari sana.

"Dah lah. Gue nggak mau jadi nyamuk. Nanti gue coba bicara sama Pak Adam."

Lisa berjalan menuju pintu, menatap remeh Bastian dari samping saat keduanya berpapasan.

"Peka juga lo. Kayaknya lo selalu dateng pas Rose muring-muring." Lisa menggelengkan kepalanya. Entah ada maksud lain atau tidak, alasan kedatangan Bastian selalu didasari betapa rewelnya seorang Rose.

"Ya ... mirip di apart ini kayak ada cctv aja. Tapi mungkin cctv-nya mata lo sendiri." Lisa menepuk bahu Bastian pelan, tersenyum tipis baru kemudian pergi menghilang tertelan pintu.

Bastian tidak menunjukkan ekspresi berlebihan. Lebih tepatnya tanpa ekspresi. Tentu saja, untuk apa Bastian harus berekspresi berlebih kala berhadapan dengan orang tidak penting seperti Lisa? Kecuali jika itu Rose.

"Kenapa?" Rose mengerutkan alisnya saat Bastian menyodorkan ponselnya.

Bastian tidak menjawab. Melainkan mengeluarkan laptopnya dan sibuk dengan benda itu. Sedangkan Rose masih dibuat heran, namun segera membuka sandi di ponsel itu saat Bastian menyuruhnya.

"Ini ... kamu dapet dari mana??" Mata Rose melebar saat melihat jadwal klub sepak bola ada di ponsel Bastian.

"Bas, astaga! Makasih!! Tamat aku kalo Pak Adam tau kertas jadwalnya dipake Lisa buat piring batagor!" Kelegaan tercipta jelas di wajahnya.

"Nggak tau lagi aku kalo kamu nggak punya ini."

"Mau makan?" sela Bastian tanpa mengalihkan perhatian dari laptopnya.

"Hah?" Rose menaikkan alisnya, matanya masih fokus di ponsel Bastian, rasa lega bukan kepalang masih membuatnya hilang fokus dengan ucapan Bastian barusan.

"Mau makan?"

Helaan nafas pelan Rose dengar dari samping. Barulah ia sadar jika Bastian membawa kresek berisi spaghetti.

"Mau. Tapi kamu yang masakin. Aku maleees." Rose menunjukkan wajah memelasnya.

Bastian tidak memberi tanggapan lebih. Menaruh laptopnya di meja dan meraih kresek yang teronggok di atas karpet tepat di bawah kaki Rose.

Rose tersenyum saat benda ringan menempel di bibirnya. Ah, Bastian memang paling suka bertindak dari pada berucap. Sayangnya, ia selalu luluh dengan sikap pemuda itu sehingga semakin enggan untuk menolak walaupun Bastian kerap membuatnya kesal.

"Kok nggak pedes?" Alis Rose mengerut protes di suapan pertama.

"Ini nggak pedes Bas. 'Kan aku pesen yang agak pedes tadi."  Rose menarik lengan Bastian yang sibuk mengetik di laptopnya.

Bastian meliriknya sekilas, "Besok aja."

Seketika mata Rose berbinar, "Jadi besok masih boleh makan ini??"

Bastian kembali menolehkan kepalanya, "Nggak."

"Yah, tadi bilangnya besok boleh."

"Dasar. Emang. Nggak bisa nepatin janji. Kalo nggak boleh ya tadi ngapain bilang kayak gitu coba?" gerutunya pelan.

"Gue lebih tau, lo harusnya lebih jaga diri."

Rose mencebik saat mendengar suara datar Bastian yang terdengar sangat menyebalkan di telinganya.

"Oke. Tapi aku nanti malem pengen langsung tidur. Kamu pulang jam tujuh nggak papa?" Sambil fokus ke layar televisi, Rose mengutarakan aksi rewelnya.

Mata Bastian memincing tidak suka, "Lo ngusir gue?"

"Nggak ngusir. Besok aku bangun pagi, berangkat pagi. Kamu nggak lupa 'kan, besok tuh hari-H pertandingan? Nggak mungkin aku datengnya lebih telat ketimbang pemain lainnya."

"Telat juga nggak papa."

"Kamu mau Pak Adam gorok leher aku?" Rose mengulas wajah horor. Wajah mengerikan Pak Adam terbayang-bayang di otaknya. Layaknya seorang pshyco yang mendapatkan mangsanya.

"Ya? Besok kamu nggak usah jemput aku nggak papa. Aku tau kamu masih tidur soalnya. Kamu 'kan mirip kebo."

"Besok gue jemput." Bastian mulai mengemasi seluruh barang-barangnya. Padahal jam baru menunjukkan pukul setengah enam.

"Kamu emang mau bangun pagi-pagi? Biasanya udah mirip banteng aja pas aku bangunin." Mata Rose menyorotnya ragu.

Bastian menganggukkan kepalanya pelan. Mengusap surai Rose sebelum pergi. Hanya sebuah lambaian tangan dari Rose yang mampu membuatnya menoleh dua kali.

"Hati-hati di jalan!" teriak gadis itu sebelum sang kekasih hilang tertelan lift.



•~•~•~•
•~•~•~•

[✔] LongtempsWhere stories live. Discover now