Perasaan

1.1K 234 7
                                    

Langit berwarna biru cerah siang ini. Walaupun tanpa awan yang membuat matahari langsung menyinari bumi tanpa perantara, cuaca kali ini tidak terlalu panas. Justru terasa sejuk dengan angin sepoi-sepoi yang menambah kesan nyaman untuk berlama-lama duduk di bawah pohon.

Sayangnya cuaca kali ini bertolak belakang dengan suasana hati gadis itu. Rose yang hanya duduk termenung di bawah pohon beringin. Duduk di bangku semen yang melingkar di sisi-sisi akar besar pohon tersebut.

Ia memang tidak duduk sendirian. Beberapa orang mungkin sedang mencari angin sekedar melepas penat atau memang ada tujuan lainnya. Namun suasana hatinya benar-benar tidak mendukung. Percakapannya dengan Bu Anna kembali terngiang, membuat beban pikirannya bertambah.

Dari masalah Bastian yang menghilang dan enggan berusaha menemuinya lagi. Urusan gadis berambut hitam lurus panjang yang hampir mirip Sodakoh. Tentang rahasia keluarga Peamigi seperti yang diucapkan Bu Anna.

"Saya adalah mantan anggota keluarga Peamigi."

"Ada satu hal yang membuat saya benar-benar tidak tahan dengan tabiat keluarga besar saya. Sehingga saya memutuskan keluar dari lingkup keturunan Peamigi dan lepas dari hak waris."

"Itu adalah konsekuensi yang harus saya terima. Namun saya tidak menyesal sama sekali karena telah menghilangkan nama Peamigi dari nama belakang saya."

Rose menghela nafas. Kepalanya semakin berat. Mungkin segelas espreso bisa menguranginya. Lagi pula kafe milik tante Lisa juga tidak jauh dari sini.

"Pesanan akan sampai dalam beberapa menit ke depan. Silahkan menunggu."

Bangku di pojok yang langsung menghadap pemandangan luar adalah bangku pilihannya kali ini. Jika biasanya Rose memilih duduk di meja dekat pintu masuk, kini ia memilih tempat yang lebih pojok dan tertutup.

Telpon dari Obeng satu jam yang lalu adalah salah satu penyebab kepalanya hampir migren sekarang. Ucapan lelaki itu, berita yang dibawanya, bahkan Rose baru kali ini mendengar seberapa marah dan kalutnya Obeng dalam menghadapi sesuatu. Dan itu tak bukan tak lain adalah permasalahan hidup dari mantan pacarnya.

"Pusing gue ngurusin pacar lo! Gila lo Ce, putusin dia. Nih, denger nggak?"

Praang!

"Tuh botol semua mungkin bisa kejual seharga dua puluh rebu gegara banyaknya sekardus."

"Udah gue bilang lo harus dengerin dia dulu. Cuma salah paham Ce."

"Lo buat Tian balik kayak dulu lagi tau nggak?"

Dadanya terasa sesak. Apa salahnya memutuskan hubungan disaat ia benar-benar merasa sakit karena dikhianati dan dibohongi hampir selama dua tahun lamanya? Bukan perkara mudah memaafkan hal tersebut seperti ucapan orang-orang. Rose ingin memaafkan, ia ingin mendengar penjelasan dari Tian. Namun beban di hatinya sungguh membuat niat itu luntur seketika. Membangun sebuah perasaan merelakan adalah hal yang paling sulit untuk dirinya. Dan Obeng masih saja menyalahkannya secara sepihak?

Sesaat lamunannya terbuyar ketika seorang pelayan datang membawakan pesanannya. Ia bergumam mengucapkan terimakasih, kemudian menyeruput espreso dalam hening. Suasana kafe juga sedang lengang. Sangat cocok untuk orang yang sedang mencari ketenangan.

Terlalu berlarut dengan pikirannya, suara derit kursi mampu membuat Rose mendongak. Punggungnya tegak seketika saat melihat sosok yang baru saha datang. Bahkan dirinya sudah siap-siap bangkit untuk meninggalkan meja, namun orang itu tidak mau menyerah dan memaksanya untuk tetap duduk.

"Gue nggak akan lama," ujar Eno.

Wajah Rose mengerut aneh. Jarak di antara Eno dan dirinya memang benar harus terbentang jauh. Chaeyeon mungkin cewek tergalak yang pernah ia temui di planet bumi selain ibunya Lisa.

"Gue cuma mau ngomong tentang sifat Tian yang sebenarnya."

Seketika itu pula alis Rose mengerut tajam.

"Lo pasti tau keadaan gue yang udah putus sama Bastian. Stop No. Berhenti ngerecohin hidup gue dan buat gue makin nggak percaya sama mantan gue. Gue bisa cari tau sen—"

"Cari tau di mana? Nyatanya Tian tutup mulut selama dua tahun lo pacaran."

Punggung kursi ia jadikan sandaran penuh. Ucapan Eno mampu mengecohnya dan membuatnya ingin tetap tinggal untuk mendengar sebuah kebenaran dari lelaki itu. Ia juga pernah mendengar dari Obeng, jika Eno memang pernah memiliki hubungan dekat dengan Tian.

"Lo tau Peamigi? Tian penerus dari perusahaan besar itu. Gue nggak yakin lo tau secara keseluruhan apa nggak, tapi gue nggak ada hak dan nggak ada niatan buat ceritain keseluruhannya. Gue cuma pengen ngasih intinya aja."

Rose menghela nafas pelan. Benar, topik yang diangkat Eno mampu mengecohnya. Ia juga telah merasa frustasi, harus mengorek informasi dari mana lagi. Bahkan Obeng yang notabenya orang terdekat Tian saja tidak tahu menahu tentang sejarah keluarga besar itu.

"Dua setengah tahun yang lalu, gue sama dia udah mulai masuk ke dunia bisnis. Gue masuk duluan sih, sekitar lima bulan lebih cepet dari dia. Jadi asisten Papa gue."

"Awalnya kita berdua main aman. Dia sering dateng ke perusahaan keluarga gue, gue juga sebaliknya. Sekitar tiga bulan gue beneran deket sama Tian."

"Tapi apa?"

Rose sangat tau, wajah Eno sekarang ini menampilkan raut penuh amarah yang tertahan. Wajah yang biasanya datar kini terpoles penuh emosi. Bahkan Rose bisa melihat dari rahang lelaki itu yang mengeras.

"Dia rebut seluruh aset punya keluarga gue. Dia bohongin seluruh orang. Dia bahkan ngerusakin bisnis Papa gue tanpa ampun. Bisnis turun-temurun keluarga gue hancur karena dia. Dia ngehianatin gue. Dan lo tau, kenapa gue benci banget sama dia?" Wajah Eno mengeras. Menatapnya dengan alis mengerut tajam.

Rose menghela nafas.

"Jujur gue kaget. Tapi apapun itu, gue bener-bener udah nggak peduli. Karena itu, lo bisa pergi dari sini. Kalo pun lo keberatan, gue nggak segan-segan pindah bangku aja kok. Nggak susah juga."

"Lo bisa, dengerin gue satu kali aja?" Eno menatapnya tajam. Walaupun begitu, Rose masih bisa melihat sorot memohon dari kedua matanya.

"Oke. Gue orangnya nggak mudah percayaan. Gue beneran simpen baik-baik apa yang lo omongin, baru gue percaya kalo udah tau sendiri."

Eno menghela nafas tipis. Rasanya pemandangan di luar jendela lebih menarik. Namun perasaannya sedang tidak baik-baik saja sekarang ini.

"Dia rebut semua apa yang gue punya."

Wajah Rose menajam, "Maksud lo apa? Dia ambil takdir lo gitu?"

Eno mendengus geli, "Semua orang yang gue punya, pindah tangan ke dia. Dia ahli, ngehancurin hidup orang lain."

Rose tertegun. Sesaat mata Eno yang menyorot penuh amarah kini terlihat berkaca. Menatapnya entah dengan maksud apa. Tapi Rose bisa merasakan kesedihan yang selama ini ditanggung lelaki itu.

"Dengan ngambil orang yang paling gue sayangi."






============

Kalo kalian ngerasa ch ini agak ...?Sumpah, aku juga sama TT

[✔] LongtempsDonde viven las historias. Descúbrelo ahora