Kata Siapa?

986 229 11
                                    

"Kata siapa? Beng, gue tau lo sohibnya Bastian! Tapi gue nggak bakal diem aja pas lo boong—"

"Gue nggak boong Ce! Sumpah!! Gue liat dia kemarin nggak di Lembang!" Wajah Obeng yang biasanya lebih santai kini berubah sangat serius. Alisnya mengerut tajam, rahangnya terangkat tinggi, Rose haru pertama kali ini melihat Obeng dalam keadaan serius.

"Lembang itu gedhe! Besar! Lo tau—"

"Ya karena gue liat dia pergi ke atas! Dia lewat jalan yang lawan arah dari Lembang! Masih kurang jelas? Gue tau dia kalo di Lembang dia tinggal di mana. Nggak mungkin dia tidur di kolong jembatan. Gue coba pulang ke rumahnya di Lembang, tau aja Tian lagi pergi ke mana trus baru balik lagi ke Lembang. Eh taunya nggak ada! Tau-tau udah balik ke lo!" Obeng mencoba menurunkan suaranya beberapa oktaf saat melihat Rose memundurkan badannya. Maklum, ini kali pertama kemarahannya muncul perdana di hadapan gadis itu.

Rose mendesah lelah. Membungkukkan badannya meminta maaf ke seluruh pengunjung saat dirasa dirinya mulai menganggu. Segera ia mengajak Obeng keluar dari kafe, dan duduk di bangku beton sebelah parkiran.

"Gue tau, ada sesuatu yang Tian sembunyiin dari lo. Bukan karena gue mau hancurin hubungan lo berdua. Tapi gue nggak suka liat Tian boongin lo terus-terusan." Obeng mulai berbicara dengan nada yang lebih pelan dan halus.

Obeng benar-benar tidak berbohong. Jujur, dirinya tidak tau apa yang disembunyikan oleh sahabatnya. Namun apapun itu, dirinya berharap itu tidak akan membuat hubungan Bastian dan Rose berakhir kandas.

Kemarin, sehabis mengantarkan Rose ke rumah Ori, Obeng langsung memutar arah mengikuti jejak Bastian yang katanya pergi ke Lembang, rumah dari papanya yang kosong tanpa penghuni. Biasanya di akhir bulan, Tian sering menginap di sana. Terkadang Obeng juga diajak, namun kali ini Obeng yang memiliki inisiatif sendiri untuk menyusul.

Akan tetapi, nyatanya rumah itu kosong. Obeng memutuskan untuk tinggal. Kemungkinan mobil Tian yang ia temui di tengah jalan sedang menuju ke suatu tempat, dan Tian akan kembali lagi ke Lembang setelah menyelesaikan urusannya. Obeng sempat khawatir, tidak mungkin Tian pulang ke kosannya sedangkan jalan yang dituju lelaki itu tidak searah dengan jalan pulang.

Untung saja Obeng memutuskan pulang tepat jam sembilan malam. Presentasi Tian akan kembali nol. Itupun Obeng sampai di rumahnya hampir tengah malam. Untung saja Obeng memutuskan pulang walaupun pukul malam hari, setidaknya dirinya tidak menginap di rumah Belanda itu sendirian. Rumahnya besar, tapi juga menunjukkan kesan mengerikan karena tak berpenghuni.

"Ce, gue harap lo cepet-cepet omongin ini ke Tian. Gue cuma mau bilang itu. Kalian berdua udah barengan dari lama, dan gue kenal banget sama Tian. Dia orangnya susah deket sama orang lain. Gue juga baru liat dia pertama kali pacaran ya sama lo."

Rose menautkan kedua tangannya yang terasa dingin, "Masa si Bas selingkuh?" gumamnya.

Obeng melotot, "Jangan bercanda lo! Sebelum dia kenal lo aja gue kira dia nggak doyan cewek!"

Obeng menghela nafas. Sepertinya kenyataan yang ia sampaikan membuat kepercayaan diri dan rasa percaya Rose terhadap Bastian sedikit menurun. Ia meraih pundak gadis itu, mencoba memberi pengertian.

"Gini Ce, gue ngomong ke lo, bukan karema pengen lo sama Tian berantem. Kagaaaak. Buat apa gue rusak kebahagiaan sahabat gue sendiri? Nggak guna. Gue ngomong gini ke lo, berharap lo mau bujuk Tian buat terbuka sama lo. Gue udah tau gelagat dia mondar-mandir yang katanya pulang ke Lembang nyatanya boong sama sekali. Mungkin dengan lo bujuk, lo bicarain baik-baik, Tian mau kurangin beban dia ke lo. Karena dia tuh nggak mau buat orang lain yang deket sama dia tuh susah. Yang disusahin orang luar aja katanya." Obeng sempat menahan tawa.

"Dari dulu, kalo dia ada masalah apapun, gue nggak pernah dikasih tau. Padahal lo tau gue kenal sama dia tuh dari TK! Jajan nyolong telung bareng! Dia yang ngajarin gue buat manjat pohon talok-nya Pak Tumar sampe gue diajarin buat lewat nyebrang di jalan raya yang baru liat aja buat kaki gue lemes. Eh bentar, kok kayak gue ngangenin dia di depan pacarnya yak?"

Rose memukul lengan lelaki itu.

"Pokoknya dia nggak pernah cerita ke gua apa masalahnya. Bukannya gue ngerasa dihianati gegara dia malah bocorin masalahnya ke orang lain yang notabenya orang luar dan nggak sedeket hubungan gue sama dia. Akhirnya gue tau kalo dia beneran nggak mau bikin orang terdekatnya kelimpungan karena masalah dia," jelas Obeng.

"Jadi, lo tau garis besarnya 'kan Ce? Semua yang gue ceritain, juga kunci jawaban dari pertanyaan lo yang bingung kenapa Tian selalu tau keberadaan lo."

.

.

.

.

"Bas, kalo kamu ada apa-apa ceritain ke aku ya? Jangan pernah ngerasa nggak enak atau gimana, aku pacar kamu, jadi jangan pernah kamu tuh mendam masalah kamu sendirian. Apalagi ngerasa sungkan-sungkan nggak enak," ujar Rose sembari melipat kakinya di atas sofa. Menatap Bastian yang sibuk dengan laptop yang dari tiga jam lalu tidak lepas dari pandangannya.

"Kamu denger aku 'kan? Aku juga nggak suka diboongin," tambah gadis itu.

"Nggak ada yang perlu dibicarain."

Rose mendengus mendengar jawaban Bastian. Tangannya meraih tangan lelaki itu agar berhenti mengetik atau apalah yang dilakukannya pada sebuah benda berlayar datar tersebut. Membuat wajah Bastian kembali menoleh menatapnya.

"Kalo aku ngomong gitu, berarti aku bener-bener serius sama apa yang aku ucapin. Kamu tuh pacar aku, aku udah nemenin kamu dari lama Bas. Kenapa kamu harus sungkan-sungkan nggak enak gitu? Aku tau beberapa orang yang kenal deket sama kamu. Dan kamu percaya sama aku, aku juga mau kamu jangan mendam apa yang buat kamu pusing sendirian," ujar Rose dengan wajah serius. Alisnya saling bertaut hampir tidak ada jarak.

Bastian menghela nafas tipis. Melirik laptopnya dan menaruhnya di meja. Kembali menatap Rose dengan wajah tanpa ekspresi.

"Gue nggak pernah ngerasa gitu. Apapun yang gue sembunyiin, lo tau semuanya. Lo orang yang paling kenal gue."

Rose menghela nafas kasar. Membenarkan duduknya saat kepala Bastian bertumpu di pahanya. Mengelus pelan surai coklat kekasihnya itu.

"Yah ... Mana tau. Aku cuma mau bilang gitu, buat ringanin beban kamu. Aku nggak buta loh, liat kamu beberapa hari ini kurang tidur. Matanya sampai merah gitu."

"Kamu kenal aku cukup lama. Aku harap ... yah, kamu juga mau berbagi beban kamu sama aku." Rose mengendikkan bahunya, berujar dengan lembut.

Bastian membuka matanya. Menatap ke atas yang menampilkan dagu Rose. Gadis itu sedang fokus melihat televisi ternyata.

Sedari dulu, tempatnya berpulang bukanlah ke Lembang. Rumah di mana peninggalan kakek-neneknya yang sekarang diambil alih olehnya atas keinginan papanya. Setidaknya Bastian masih memiliki peninggalan dua orang paling berharga dalam hidupnya yang selalu mengerti Bastian tanpa embel-embel terhadap warisan turun-temurun adat-istiadat silsilah keluarganya.

Menjadi keturunan Peamigi bukanlah sesuatu yang mudah bagi Bastian. Merupakan salah satu beban terberat yang sekarang menimpa punggungnya. Semakin dewasa semakin menjadi-jadi, yang membuat lelaki itu cukup frustasi.








•~•~•~•
•~•~•~•

Akhir-akhir ini up-nya nggak menentu. Makasih banyak di antara kalian yang setia nunggu cerita ini up ><

[✔] LongtempsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang