Bab 13

654 176 7
                                    

Masih di Bulan Juni 2019

Satu hal yang pada akhirnya Eska sadari bahwa Gemma sudah mengajarkan apa itu berbagi. Bahwa sebuah komitmen bukan hanya tentang mengungkapkan rasa. Di sini Gemma mau berbagi dengannya, mengajak pria itu untuk berjuang, bersusah payah bersama dan merasakan nikmat bersama-sama, tanpa mengeluarkan kata-kata. Apa yang dilakukan gadis itu sudah cukup menjelaskan semuanya.

Pria itu tidak lagi terlalu mempermasalahkan statusnya yang belum memiliki pekerjaan. Meskipun sudah berulangkali menghadiri interview namun belum juga ada yang memanggilnya kembali. Dia akan tetap bersikap seperti sebelumnya. Dalam hati Gemma berterima kasih karena pria itu sudah mau mendengarkan kata-katanya. Bukan berarti Eska nyaman dengan statusnya. Gemma tahu. Gadis itu hanya meminta Eska untuk bersabar, tidak perlu memperlihatkan kesusahan yang sedang dialaminya. Cukup kita sendiri saja yang tahu, katanya. Alasannya sederhana, tidak semua orang bisa memahami kondisi kita. Yang suka akan bersimpati dan yang tidak suka akan tertawa, bertepuk tangan.

Sampai detik ini, memang orang hanya tahu Gemma adalah orang yang beruntung mendapatkan Eska seorang karyawan yang pendapatannya melebihi UMR ibu kota. Di dalam hatinya, gadis itu hanya mengaminkan dan menganggapnya sebuah doa.

"Rata-rata yang interview masih freshgraduated. Terus sebagian ada yang bawa, orang dalam," tutur Eska menceritakan pengalamannya hari ini.

"Semangat, dong. Berarti belum rejekinya. Baru tiga bulan ini kan?" sahut Gemma meringis lebar.

"Iya, baru. Belum kayak kamu yang nyaris setahun."

"Eh, mamiku lagi di Bandung. Katanya mau mampir ke sini."

"Naik apa? Nanti aku jemput aja."

"Kereta. Turun di Jatinegara sih kayaknya," ucap Gemma sambil mencomot kulit ayam.

Paman Donald malam ini cukup ramai dibanding biasanya. Gemma dan Eska harus menunggu beberapa saat demi sebuah meja. Wajar saja, malam minggu sudah menjadi rutinitas warga urban menghabiskan akhir pekan dengan nongkrong hingga nyaris pagi.

"Yaudah nanti aku jemput. Nanti aku bilang mamaku deh, biar bisa ketemuan. Ketemu di luar kali ya biar ngobrolnya enak. Mumpung Mami kamu ke sini kan. Kalau nunggu mamaku ke Purworejo mah nggak tahu kapan bisanya."

"Ngobrolin apa?" tanya Gemma belum paham kemana arah pembicaraan Eska.

"Ya apa kek. Yang penting ketemu dulu, saling kenal. Kalau udah tahu, baru ngobrolin kita."

"Hah? Seriusan?" tanya Gemma masih bingung.

"Jadi nggak mau nih?"

"Nggak gitu. Maksud aku, coba kamu ngomong dulu lah sama mama kamu. Perkara ketemu mah gampang. Mami paling seminggu di sini abis itu baru pulang ke Purworejo. Nanti kalau udah ada kata iya dari mama kamu, baru kamu kabarin aku, biar aku ngomong sama mami."

"Oke, nanti aku bilang dulu deh."

Rencana yang pada akhirnya menciptakan perdebatan luar biasa untuk yang pertama kalinya hingga gadis itu mengeluarkan kalimat yang tidak semestinya. Malam sebelum hari yang disepakati untuk bertemu kedua orangtua dari masing-masing nyatanya nyaris batal dikarenakan kurangnya komunikasi.

Ya, padahal sudah jauh-jauh hari Gemma dan Eska bersepakat menentukan hari. Tinggal masing-masing bicara pada orangtuanya. Akan tetapi, Eska baru bicara tepat ketika malam itu juga.

Eska: Yang, maaf deh. Mamaku nggak bisa kalau besok. Soalnya ada pesanan kue sampai akhir bulan. Mungkin next time aja kali ya kalau mamaku udah ada waktu. Nanti mamaku ke Purworejo aja deh.

Gemma terdiam. Next time? Sisi batinnya tertawa terbahak. Lucu? Tidak, hanya sebuah ekspresi rasa kekecewaan. Mengapa? Karena demi janji yang sudah disepakati, ibunya rela menunda hari kepulangannya, melewatkan beberapa urusan yang pada akhirnya diwakilkan oleh adiknya di kampung sana.

Gemma: Bukannya waktu itu kamu udah bilang bisa ya? Aku juga udah make sure kamu berapa kali dan kamu bilang oke?

Eska: Iya, aku baru bilang. Mamaku marah-marah. Next time aja ya?

Gemma: Next time? Aduh nggak bisa janji ya. Aku juga nggak tahu ke depannya bakal gimana. Kamu aja nggak bisa konsekuen. Aku nggak minta banyak kok. Konsekuen aja. Kita udah janjian, udah obrolin dari dua minggu yang lalu kan? Masalah kayak gini aja kamu baru bilang? Ya jelas, mama kamu marah.

Eska: Iya, maaf. Aku salah.

Gemma: Masalah maaf itu gampang, Yang. Waktu yang udah kebuang emang bisa dikembalikan pakai maaf? Kamu kira mamaku nggak ada kepentingan lain? Mamaku sampai dibela-belain loh lempar urusannya ke adikku. Tapi kamu dengan gampangnya bilang kalau kamu baru banget bilang. Kalau kayak gitu aku juga bisa bilang, nggak janji ya, ke depannya aku masih bisa tetap pada komitmenku atau nggak.

Eska: Ya ampun, Yang. Jangan gitu dong ngomongnya. Aku coba lagi deh ngomong sama mamaku.

Gemma: Nggak usah. Nggak penting juga. Emang nggak penting kan? Kalau penting udah pasti kamu nggak ngomong ke mama kamu dadakan begini. Ya udahlah. Kayak gini aja udah cukup.

Ada gelegak emosi yang berusaha Gemma sembunyikan dari wanita paruh baya yang sedang terlelap di sampingnya. Gemma pikir Eska adalah orang yang tepat. Nyatanya untuk konsekuen hal seperti ini saja laki-laki itu belum mampu. Seketika dia merasa malu. Malu pada harapan yang sudah dia bangun tinggi-tinggi. Dalam diam, Gemma menarik napasnya pelan-pelan, mencoba menghalau sesaknya agar tidak menimbulkan suara. Tangannya menekan tombol power off di ponselnya. Dia tidak ingin bicara lebih banyak pada Eska untuk malam ini, yang hanya akan semakin memperburuk suasana.

Jika memang besok adalah akhir, Gemma berusaha meyakini Eska memang bukan jodohnya. Namun jika masih berlanjut, Gemma hanya tahu Tuhan mengirim Eska padanya untuk sama-sama belajar memperbaiki diri. Rasanya malam ini terlalu berat bagi Gemma. Sudah lama dia tidak berada di posisi seperti ini.

***

Gemma terbangun dengan kepala agak berat. Gelegak emosi semalam dia paksakan dibawa tidur. Kekecewaan yang dia pendam sendiri belum menghilang di pagi ini. Gadis itu beranjak menuju ke kamar mandi. Lepas sudah semuanya, sama sekali sudah tidak ingin berharap lagi. Toh selama ini sendiri semuanya baik-baik saja. Patah hati bukan sekali ini saja dirasakan. Seharusnya hatinya sudah terbiasa.

"Lho, kamu mau kemana? Katanya mau ambil cuti? Kan kamu bilang nanti mau ketemu orang tua Eska," tanya ibunya ketika melihat Gemma keluar dari kamar mandi. Gadis itu kalau jam delapan pagi sudah mandi artinya masuk kerja.

"Kerja. Nggak jadi, Mi. Katanya lagi banyak kerjaan. Mami mau pulang kapan? Nanti aku cariin tiket deh," ucap Gemma sambil mengenakan sepatu.

"Ya terserah kamu aja. Udah nggak ada urusan lagi. Kan kemarin arisan udah diwakilin adikmu."

"Oke, nanti deh ya nunggu aku libur. Biar bisa aku anterin," ucap Gemma tersenyum tipis.

Dalam hatinya gadis itu berharap ibunya tidak menyadari apa yang sedang dia sembunyikan. Dia bergegas berangkat bekerja. Sepertinya dia akan kembali pada posisi yang seharusnya. Menyibukkan diri pada pekerjaan dan naskah cerita sebagai hobinya. Satu tangannya memasang headset ke telinganya untuk mendengarkan lagu selama perjalanan nanti. Untuk kali ini dia tidak lupa mengganti mode pesawat di ponselnya. Dia sedang tidak ingin Eska menghubunginya.

***

Tbc

Geser Kanan Jodoh (TERSEDIA CETAK DAN EBOOK)Where stories live. Discover now