Bab 14

619 184 11
                                    

Gemma tahu seberapa banyak Eska mencoba menghubunginya. Namun rasa kecewa sedang bersemayam di dalamnya hingga dia tidak mempedulikan semuanya. Ponselnya masih dalam mode pesawat hingga pukul tujuh malam.

"HP lo kagak aktif?" tanya Pak Budi pada Gemma yang sedari datang pagi tadi hanya diam, serius pada pekerjaannya.

"Abis kuota," jawab Gemma sekenanya.

"Ditanyain Langgam. Ditunggu di luar katanya."

Langgam? Kenapa? Gemma mendesah singkat. Sekian lama dia menghindari Langgam, nyatanya keadaan memaksanya harus menghadapi pria itu. Kali ini Gemma beranjak dari duduknya. Mungkin memang hari ini semuanya harus dibereskan. Belum juga sampai di lobi, Gemma sudah bertemu Langgam. Dia tahu, laki-laki itu tidak baik-baik saja.

"Ada apa?" tanya Gemma tanpa basa-basi, menatap Langgam datar.

"Jadi begini rasanya patah hati?" katanya lirih.

Gemma luruh dalam diam. Kalau saja saat itu perasaan itu berpihak padanya, mungkin keadaan tidak akan seperti ini. Tapi saat ini semua sudah masing-masing bukan? Untuk kembali pun rasanya sudah terlalu asing.

"Ya," jawab Gemma lirih.

"Kalau aja waktu itu...,"

"Lupakan. Masing-masing kita udah terpental jauh. Langgam, kalaupun memaksa untuk pulang, semuanya nggak akan sama lagi. Buat aku, rasanya udah terlalu asing. Jadi, lupakan. Buat apa memaksakan pulang, tapi masing-masing kita udah nggak ada lagi perasaan yang sama?"

"Kenapa nggak kita coba?"

"Buat apa? Kamu memaksa pulang karena patah hati. Langgam, hati, bukan tempat pulang hanya ketika kamu jatuh. Aku bukan seseorang yang sukarela macam itu. Kalau mau berteman,  mari berteman. Jangan memaksa lebih," tutur Gemma mencoba tegar. Rasanya saat ini, semua luka itu bersatu, muncul kembali ke permukaan.

Kakinya segera melangkah meninggalkan Langgam yang masih berdiam. Gadis itu tidak ingin buru-buru pulang malam ini. Biarkan malam ini menepi sendiri untuk sejenak. Menikmati sesak yang sedang berpesta. Kalau biasanya dia pulang naik ojek online ke stasiun manggarai lalu naik KRL, kali ini dia berjalan kaki menuju ke stasiun Kebayoran Lama. Rute panjang menggunakan KRL. Gemma sedang tidak ingin mempersingkat waktu perjalanan.

Di dalam KRL, Gemma menatap ponselnya. Sedang menimbang untuk berpindah mode ponsel. Sampai pada akhirnya, Gemma menarik napas panjang, ketika jempolnya menyentuh tombol pengaktifan paket data. Benar saja. Ada banyak pesan dari Eska. Gadis itu tertawa lirih namun pada pesan terakhir dari Eska, seketika terdiam. Laki-laki itu mengirim gambar, foto ibunya dan mami Gemma sedang duduk di rumah Gemma, bicara berhadapan.

Tidak. Gemma kembali mengeraskan hatinya untuk tidak ingin tahu. Biarkan saja, dirinya hanya butuh waktu untuk menepi. Kembali menikmati sesak yang kini disadari sudah menjadi candu.

Hampir tengah malam, Gemma baru sampai di depan rumah. TV masih menyala. Tandanya ibunya belum tidur, masih menunggunya pulang. Bibirnya segera mengucap salam meski terdengar begitu pelan.

"Kok tumben lama?" tanya ibunya menyambut kepulangan Gemma.

"Keretanya lama. Biasanya, nunggu kereta jarak jauh lewat dulu."

"Oya, tadi lepas isya Eska datang sama ibunya. Adek perempuannya juga."

Gemma merapatkan mata sejenak. Kalau saja ibunya tahu, saat ini dirinya sangat tidak ingin membicarakan laki-laki itu. Tapi mulut Gemma masih menyembunyikan hal itu, membiarkan ibunya terus bercerita.

"Kamu marah kan sama Eska. Tadi mamanya cerita kalau kamu marah sama dia. Kamu bilang dia nggak konsekuen, mamanya bilang ya nggak salah kalau kamu sampai bilang begitu. Cuma sebentar doang sih tadi. Yang penting udah ketemu aja dulu."

Geser Kanan Jodoh (TERSEDIA CETAK DAN EBOOK)Where stories live. Discover now