Bab 23

620 188 7
                                    

"Aku nggak suka sama dia," bisik Gemma tanpa tedeng aling-aling.

Eska menoleh seketika. Begitu terkejut dengan sikap terus terang dari gadis yang duduk di sampingnya.

"Alasannya?"

"Nggak suka aja. Caranya curhat sampai mepet-mepet lupa kanan kiri. Di depan suaminya lagi. Okelah, kalian udah saling kenal.  Tapi nggak gitu caranya. Nggak lucu. Sebebas-bebasnya aku masih ada etika sedikit. Sadar kalau ada orang lain ya harus tahu memposisikan diri. Gayanya sok highclass tapi mannernya nggak ada. Kalau kamu nggak suka sama pendapatku, nggak apa-apa. Kan kamu yang lebih kenal mereka."

Eska hanya tersenyum. Tangannya singgah di puncak kepala Gemma, memberikan usapan di sana. Keduanya kembali bersikap biasa seolah tidak ada pembicaraan apapun ketika sepasang suami istri itu duduk dengan buku menu di tangannya.

"Maklumin aja. Emang begitu orangnya. Yang penting kamu nggak begitu," bisik Eska yang untungnya dia melebarkan buku menu-nya hingga menutupi keduanya jadi dua orang di hadapannya tidak akan tahu.

"Oke," jawab gadis itu hanya dengan gerakan bibir.

"Gawe di mana sekarang, Pak?" tanya Angga memecahkan keheningan.

"Gue baru aja pindah kerjaan baru. Biasalah masih di CS."

"Gede dong gaji mah?"

"Yang penting mah ada aja. Percuma gede kalau pengeluaran ada aja. Duit ngalir gitu aja."

"Yang penting kan bulanan ada. Daripada ini. Udah hampir sebulan kan dia nggak ada job," sahut perempuan itu dengan lirikan tajam ke arah Angga.

"Nikmati aja. Laki lo kan sekali dapet proyek dapetnya bisa puluhan juta."

"Ya, iya sih. Tapi percuma, kakak-kakaknya ngerong-rong mulu," sahutnya hanya dengan gerakan bibir tanpa suara agar suaminya tidak tahu.

Gemma masih dengan sikap tenangnya. Namun kakinya bergerak dengan sengaja menendang kaki Eska. Bahkan selama makan, justru perempuan itu yang aktif mengajak Eska bicara. Curahan hatinya mungkin sudah berlembar-lembar.

"Eh, gue duluan kali ya. Soalnya mau ada perlu sih," ucap Eska mencoba untuk berpamit.

"Yailah mau kemana sih buru-buru? Gue belum kelar cerita tahu, Pak."

"Iya, sok sibuk lo. Udah berapa lama kita nggak ketemu kan," timpal si Angga.

"Bukan gitu, gue libur sehari doang. Bagi-bagi waktu biar semuanya beres."

"Yaudah. Tunggu, gue bayar dulu," ucap Angga.

"Yaudah ayo bareng aja," ucap Eska sembari mengeluarkan dompet dari waistbag nya.

"Udah, nggak usah, Pak. Biar Angga aja yang bayar. Pakai kartu kredit dia. Banyak tahu limitnya. Ada 30 juta ya, Yah?"

Angga mengangguk, mengeluarkan sebuah kartu berwarna hitam.

"Wih keren. Tapi nggak usah, saldo ATM gue masih lebih dari cukup kok buat bayar," tolak Eska.

"Udah sih. Kayak sama siapa aja," ucap Angga kemudian bergegas beranjak.

Gemma masih duduk tenang, mengamati dalam diam. Meski mulutnya sudah gatal ingin menghujani dengan kata-kata. Tapi gadis itu tahu, apapun itu dia harus menghargai teman dari Eska.

"Nggak perlu segitunya kali. Kenapa harus koar-koar bahkan sampai meja lain pun ikut menoleh?" ucap Gemma tidak tahan juga ketika dia dan Eska melangkah meninggalkan restoran Ta wan. Dua teman Eska tadi masih di dalam sedang membereskan belanjaannya.

"Biarin aja, Yang. Udah, senyamannya dia aja. Watak orang kan beda-beda. Senyumin aja udah," tutur Eska menenangkan. Tangannya singgah di bahu Gemma, berjalan santai menyusuri Mall Kelapa Gading.

Gemma membuang napasnya. Secuek-cueknya gadis itu, dia memang paling tidak bisa melihat orang banyak gaya. Tangannya gemas ingin memukul biar orang itu sadar bahwa yang punya gaya tidak hanya dia saja. Tidak perlu memamerkan sesuatu hanya untuk mendapatkan perhatian.

"Pak, main-main dong ke rumah. Udah lama kan lo nggak main? Terakhir kapan? Dua tahun lalu kalau nggak salah."

Dia lagi?! Gemma menahan napas begitu perempuan itu menyeruak hadir bersama Angga hingga tangan Eska terlepas dari bahu Gemma. Tinggal gadis itu di belakang Eska. Selebar jalan itu penuh dengan mereka bertiga. Gemma masih menahan diri, tangannya menunjuk ke hidungnya sendiri, menggerutu pelan.

"Asli gue berasa kayak obat nyamuk. Kalau gue nggak ada akhlak, udah gue jenggut punuk jilbabnya. Heran gue, kok ada manusia macam dia!"

Gadis itu berdecak. Dia menggelengkan kepala, ini harus berakhir di sini. Agar dia tahu bagaimana menghargai orang lain. Sesaat Gemma menarik napas sebelum bertekad melangkahkan kaki. Tiga orang itu sudah berjalan di depan sana tanpa menghiraukan di mana keberadaan Gemma.

"Ngeremehin gue," gerutunya dengan langkah kaki semakin cepat.

Dengan sengaja Gemma menarik tas yang menggantung di pundak Eska hingga pria itu berhenti karena terkejut. Sekilas gadis itu mendelik sebal sebelum wajahnya kembali biasa saja. Berhentinya langkah Eska membuat perempuan yang bernama Ami itu berhenti bercerita menoleh pada Eska.

"Kenapa?" tanya Eska.

"Nggak. Tadi kirain dia mau lewat. Kalian jalan udah kayak lagi pawai gitu," sindir Gemma.

"Oh, kirain kenapa. Gue lanjut cerita, jadi gini, Pak... "

"Ya, terusin aja ceritanya. Gue di belakang lo dengerin," ucap Eska menahan langkahnya.

"Tapi kan tadi lo mau duluan ya? Gue lupa. Ntar aja deh, nomor lo masih yang sama kan?"

"Masih."

"Yaudah lanjut nanti aja."

Eska mengangguk ringan kemudian berpamit. Tangannya segera menggandeng tangan Gemma meninggalkan mereka. Seperti tahu kalau gadis itu benar-benar sebal, Eska memberikan senyuman tipisnya.

"Maafin teman aku ya? Aku ngerti kenapa kamu nggak suka. Bukan karena cemburu tapi dia nggak bisa menghargai kalau ada orang lain di dekat aku. Ya udah, kita cari sepatunya, yuk. Mau PnB atau Sport Station?"

"Nggak tahu. Udah males. Terserah deh mau di mana. Tapi lihat-lihat dulu aja," jawab Gemma sambil berusaha untuk membuang rasa kesalnya.

Laki-laki itu mengulum senyum. Dia berusaha keras mengembalikan mood baik gadis itu. Beberapa toko sepatu dia masuki. Gadis tidak berkeliling. Dia berdiri diam, hanya matanya yang beredar. Rasa sebal itu belum pergi sepenuhnya. Hingga Eska rasanya ingin memutar waktu, mengembalikan keadaan yang seharusnya.

"Yang," panggil Eska ketika berhenti di depan sport station.

"Itu aja, bagus. Warnanya suka. Lihat harganya dulu tapi," ucap Gemma menatap sebuah sepatu NB berwarna abu-abu.

"Yang penting ukurannya ada," sahut Eska kembali sumringah. Dia bergegas menghampiri salah seorang karyawan toko itu. Tidak lama dia kembali dan karyawan toko itu berjalan masuk.

"Ada katanya. Tunggu sini, aku mau lihat sepatu buat aku," ujarnya sambil berkeliling.

Gemma duduk di sebuah bangku yang memang tersedia untuk pengunjung toko tersebut. Matanya melihat-lihat jajaran sepatu. Hingga kemudian Eska kembali dengan sepasang sepatu reebok warna navy.  Laki-laki itu tidak mengijinkan Gemma untuk ikut ke kasir. Baru ketika sampai di rumah, bola mata Gemma nyaris loncat keluar mendapati label harga yang tergantung di dalam sepatu itu. Untuk dua pasang sepatu Eska menggesek nyaris di angka 3juta.

"Kok kamu nggak bilang kalau harganya segini?" jerit Gemma menatap Eska yang sedang membuka pintu kulkas.

"Yang penting kamu suka. Kan nggak tiap hari juga."

"Uang kamu habis kan jadinya."

"Masih ada. Pakai CC instalment 6 bulan. Nggak berasa. Tenang aja," ujarnya santai.

Laki-laki itu memang tenang. Dia tidak tahu di dalam hati Gemma meraung-raung.

***

Tbc

Geser Kanan Jodoh (TERSEDIA CETAK DAN EBOOK)Where stories live. Discover now