Bab 17

618 184 4
                                    

Lupakan semuanya, Gem. Fokus sama masa depan kamu sendiri. Berkali-kali sisi batinnya mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak memikirkan hal-hal yang lain. Sekembalinya ke Jakarta, Gemma berusaha melupakan pertanyaan-pertanyaan seputar hubungan adiknya itu. Saat ini bukan saatnya bertanya. Gemma paham benar, nanti akan ada saatnya Prastya Maharani datang padanya.

Seperti saat dulu ketika Tya SMA, pertama kalinya mengenal cowok. Ketika itu Gemma baru lulus SMA, dan Tya proses masuk SMA. Teman SMA Gemma, yang sudah dianggapnya sahabat, ternyata tidak menganggap Gemma sahabat. Melainkan musuh baginya. Semua berawal dari teman Gemma itu yang meminta diantar ketemuan dengan cowok yang ditaksir. Namun sayang, cowok itu malah sukanya sama Gemma. Dari hal itu, temannya mungkin tidak terima hingga mendendam. Nomor ponsel Gemma diobral diberikan pada cowok-cowok tidak jelas di kampung pesisir itu. Ada banyak hal menyakitkan yang Gemma dapat. Mulai dari perempuan gampangan, jablai bahkan parahnya sebutan perek (pelacur) pernah Gemma dapat. Sekali lagi sebutan tidak mendasar itu berasal dari gosip mulut temannya itu.

Gemma sama sekali tidak menanggapi. Bahkan untuk cowok yang terakhir pun tidak Gemma pedulikan. Sayang, perangkap itu malah mengenai Tya. Berkali-kali Gemma mengingatkan Tya untuk tidak menggubris cowok itu, hanya saja Tya tipikal orang yang baru sadar ketika sudah terkena batunya. Peringatan Gemma berujung pada keputusan ibunya yang menyuruh Gemma pindah, merantau ke Jakarta. Katanya, ini hidup Tya, bukan urusan Gemma. Menyakitkan memang. Namun seiring waktu, adiknya datang menelepon meminta maaf, pernah tidak mendengarkannya.

Dan untuk saat ini, Gemma berharap Tya tidak akan berakhir sama. Gadis itu berharap selintas pikiran buruk itu hanya sekedar angin lalu. Bukan sesuatu hal yang perlu dikhawatirkan. Sesaat Gemma menarik napas panjang ketika motor yang dia tumpangi dari Purworejo sudah dekat dengan rumahnya. Tidak membutuhkan waktu lama.

Mata gadis itu terpaku. Di depan rumahnya, sudah ada Eska yang menunggu. Tatapan cemasnya membuat lidah Gemma kelu.

"Capek kan?" ujar Eska menyambut kedatangan Gemma.

"Nggak. Just missing you," ucap Gemma meringis lebar.

"Nggak usah masuk kerja. Istirahat, libur di rumah," katanya tegas sambil mengambil alih tas Gemma.

"Tumben galak."

"Jangan lagi-lagi. Kalau mamaku tahu, aku yang diomelin."

Gadis itu melebarkan senyumnya. Meski di dalam hatinya ingin melupakan masalah itu, namun tetap saja tidak bisa. Rasanya dia enggan berdebat dengan Eska. Tidak, lebih tepatnya, dia enggan untuk apapun.

"Oya, kata mamaku, kemarin kan teleponan sama saudara. Mereka minta diadain acara lamaran resmi. Biar semua saudara pada tahu keluarga kamu."

"Oya? Kapan?"

"Menurutmu bagusnya kapan? Gimana kalau Oktober? Kamu kan perlu urus macam-macam. Sekalian aja nanti pulang urus surat-surat buat ke KUA," ujar Eska sambil menyalakan kompor.

Laki-laki itu, dalam diam gadis itu tertawa, memujinya karena mampu mencairkan suasana dengan obrolan yang lain. Meski obrolannya membuat Gemma kembali menyadari bahwa waktu yang dia miliki tidak banyak untuk mempersiapkan segala sesuatunya.

"Ya udah. Nanti Oktober. Awal bulan aja ya, habis gajianku. Oya, aku lupa ngasih tahu kamu. Pulang dari sini, Mami kan waktu itu mampir dulu nih ke Bandung. Maksud mami, sekalian ketemu bokap ngasih tahu kita mau nikah."

"Terus?"

"Ya gitu. Aku sih udah paham. Ogah-ogahan gitu kata Mami. Terus dia bilang, katanya aku disuruh bilang sendiri. Jadi mau nggak mau kita harus ke sana."

"Oiya, kamu perlu buat wali nikah ya. Yaudah nanti kita atur waktu aja, gimana? Nih, minum dulu," ucap Eska sambil menyodorkan secangkir teh hangat untuk Gemma.

"Lihat nanti deh. Aku males sih sebenarnya. Cuman karena kita perlu ya harus. Nanti aku kabarin deh. Kalaupun ke sana, mungkin kita berangkat pagi, sorenya pulang."

Satu hal yang Gemma simpan sendiri. Kurang lebih ketika tahun 2012, sebuah nomor asing masuk mengirim pesan. Isinya membuat gadis itu mengumpat. Kalau saja membenci bukanlah sebuah dosa, mungkin sudah dilakukannya saat itu juga.

Gem, ini nomor papa. Simpan, barangkali butuh. Namanya umur, sekarang papa udah tua. Nanti kalau udah nggak bisa apa-apa siapa yang lagi ngerawat kalau bukan kamu.

Seketika itu, jemarinya menghapus pesan itu tanpa pikir ulang. Rasa sakitnya tidak bisa digambarkan. Ketika dulu pertama kali dia datang ketika lulus SMA, laki-laki yang seharusnya disebut ayah itu malah memberinya caci maki, alih alih pelukan rindu. Lama setelah memaki, laki-laki itu tiba-tiba datang dengan kalimat itu. Jangankan nafkah, kasih sayang pun tidak pernah Gemma dapat, namun dengan mudahnya meminta untuk dirawat ketika masa tua itu datang. Kalau anak perempuan pada umumnya, sosok ayah adalah laki-laki cinta pertamanya. Bagi Gemma, sosok ayah adalah orang yang pertama kali mematahkan hatinya.

"Jangan dipikir berlebihan. Apapun nanti, pasti ada jalannya kok. Bukannya kamu bilang, Tuhan tidak pernah mempersulit urusan umatnya?"

"Iya. Cuma nggak sengaja inget lagi. Ya udah, aku nggak apa-apa kok."

"Libur minggu depan kamu disuruh ke rumah sama mamaku."

"Ngapain?"

"Nggak tahu. Ya udah kamu istirahat. Tidur. Aku di sini," ujarnya memerintah.

"Kamu nggak mau nanya kemarin gimana di Dieng?"

"Lupain! Lupain ya. Nanti sore nonton yuk. Aku nggak mau perpanjang masalah. Kamu udah di sini, baik-baik aja. Itu udah cukup. Cuma jangn diulangi lagi."

Bibir Gemma melengkung ke atas. Kali ini mengembang seiring dengan rasa membuncah di dada. Sepertinya memang Eska bukan pilihan yang salah. Anggap saja ini sedang menang lotre. Mencari seseorang yang mau belajar dari kesalahan itu bukan perkara mudah.

"Terima kasih, udah mau mendewasa," bisik Gemma dengan mata tak lepas menatap Eska yang sedang sibuk di depan kompor membuat mie instan. Sementara tangannya menarik selimut membenamkan tubuhnya.

***

Tbc

Geser Kanan Jodoh (TERSEDIA CETAK DAN EBOOK)Where stories live. Discover now