Bab 22

631 175 9
                                    

"Etttt! Paket segini banyak punya lo semua, Gem?" tanya Mila dengan mata terbelalak.

"Iya. Kan kata lo kudu nyicil buat seserahan."

"Apa aja emang yang lo beli?"

"Gincu, sabun, handuk, tas, sandal, udah gitu doang."

"Gincu?"

"Kosmetik, Mak," jelas Gemma sembari membuka paketnya satu persatu untuk mengecek kondisi barangnya.

"Baju? Dalaman? Sepatu? Lo nggak beli?"

Gemma menggelengkan kepala. Dia masih terus membuka paket-paket itu. Sampai kemudian menjerit kecil ketika Mila menggetok kepalanya.

"Yang namanya seserahan itu, barang yang sehari-hari lo pakai sekujur badan lo. Nggak kudu banyak, satu-satu aja, yang penting komplit, Gemma. Ini gue kalau jadi mamak lo, gue gundulin kepala lo, beneran. Emosi gue."

"Baju jaring-jaring wajib ada, Gem," timpal Pak Budi.

"Ogah!" sahut Gemma keras membuat kedua teman kerjanya ini terbahak.

"Sepatu yang kalo dipake kaki kita jinjit jinjit itu, Mak?" tanya Gemma.

"Iya. Gih dah belanja lagi. Ini handuk pakai apa nih?" tanya Mila dengan mata sibuk mencari label handuk tersebut, "Oh, iya ini cakep. Terry Palmer. Lo, gue suruh beli yang bagus, beneran yang bagus begini."

"Kan gue yang mau pakai." Jawaban paling ampuh dari Gemma untuk membungkam dua rekan kerjanya yang terkadang jauh lebih cerewet dari ibunya.

Sesaat terdengar dering pesan masuk. Gemma segera mengambil ponselnya. Sebuah pesan gambar dari ibunya yang berisi foto pola untuk gaun pengantin nanti. Ibunya selain dulu sebagi guru TK honorer juga memiliki pekerjaan sampingan sebagai penjahit di rumah. Semua pasti tahu, gaji guru honorer tidaklah seberapa. Memang pernah ada yang menawarkan bantuan pada ibunya agar bisa diangkat menjadi PNS. Namun ada syarat yang harus ibunya tolak mentah-mentah. Syarat itu mengharuskan ibunya membayar sekian juta pada tahun 1996. Jumlah uang segitu bukan sedikit pada saat itu. Lagipula memang bukan hal yang benar, mendapatkan sesuatu dari jalan menyuap.

"Apaan itu, Gem?" tanya keduanya ikut melihat.

"Ini pola buat baju nikahan gue nanti."

"Widih, keren nyokap lo," ucap Mila.

Gadis itu tersenyum lebar. Awalnya memang Gemma berniat menyewa di MUA yang akan dia pakai, sekalian dengan dekorasi, tenda dan semuanya. Paket komplit istilahnya. Namun ibunya melarangnya untuk menyewa pakaiannya. Katanya, untuk pertama dan terakhir kalinya dia ingin menjahit baju pengantin khusus untuk anak gadis pertamanya ini. Gemma tidak berpikir ulang, langsung mengiyakan. Ada rasa sedih, haru juga bahagia ketika waktu itu mendengar satu-satunya permintaan ibunya sepanjang hidup Gemma. Bagaimana pun hasilnya nanti, gadis itu berjanji akan tetap bangga dengan hasil tangan ibunya sendiri. Sangat bangga bahkan.

"Iya, katanya buat pertama dan terakhir. Semoga aja pertama dan terakhir itu maksudnya pernikahan gue berumur panjang."

"Semangat dong. Gue yakin dia nggak kayak bapak lo!" ucap Pak Budi yang diiyakan Mila dengan anggukan kepala.

***

Hari libur minggu ini, ingin rasanya Gemma tidur seharian. Sudah lama dia tidak menghabiskan waktu untuk meringkuk di bawah selimut. Namun kedatangan pria yang akan menjadi suaminya kelak, memupus keinginannya itu. Gadis itu lupa kalau hari ini sudah berjanji akan ke Kelapa Gading mencari sepatu sneaker untuk seserahannya nanti.

"Ayo, kita ketemu teman aku dulu pas kerja di Gading. Abis itu kita cari sepatu."

"Ketemu temen?"

"Iya. Dulu dia suka bantu aku pas lagi susah. Hari ini dia ngajak ketemuan sama istrinya juga. Katanya pengen kenal sama kamu."

"Oke. Nggak lama kan? Aku males nongkrong-nongkrong gitu."

"Iya, cintaaa."

Jakarta Utara siang hari panasnya luar biasa meskipun matahari sudah tidak tepat berada di atas kepala. Belum lagi macetnya. Terkadang ada mobil yang tiba-tiba keluar dari parkiran bahu jalan. Memang butuh kesabaran sedikit kalau siang-siang berkunjung ke Mall Kelapa Gading.

"Udah nyampai orangnya?" tanya Gemma sambil melepas helmnya.

"Udah. Lagi di Sogo katanya. Yuk."

Gemma terdiam ketika tangan Eska meraih tangannya, menggandeng untuk pertama kalinya. Bibirnya melengkung ke atas. Laki-laki itu menoleh ketika Gemma menahan langkahnya.

"Kenapa?" tanya Eska.

"Nggak. Tumben gandengan," jawab Gemma lengkap dengan kerlingan matanya.

Sebenarnya bukan menjadi masalah. Ada rasa membuncah? Tidak. Biasa saja. Hanya sedikit lebih nyaman. Namun memang namanya juga Gemma, sangat suka menggoda Eska. Hal kecil apapun juga bisa jadi bahan ledekannya.

"Ya salam. Kirain apaan. Kamu tuh! Gemes rasanya!" ucap Eska menahan diri untuk tidak menarik pipi tembem gadis itu.

Gemma hanya terkikik sebelum kemudian melangkah beriringan dengan tangan masih bergandengan. Sesaat langkah Gemma berhenti ketika melewati kaca. Kepalanya tergeleng pelan.

"Apa lagi?" tanya Eska.

"Nggak cocok, asli. Nggak cocok gandengan begini. Aku jalannya kurang melehoi. Emang bener kayaknya aku terlalu tampan."

"Banyak protes ya kamu," sahut Eska sambil melepas gandengannya kemudian berganti merengkuh bahu gadis itu.

"Sabda! Hei, brai! Gue di mari!"

Ada lagi panggilan lain. Saat bekerja di Kelapa Gading, teman-temannya memanggilnya dengan nama depan. Sabda. Lantas ketika di JD. id mereka memanggil dengan inisial namanya SK, dibaca Eska.

"Hei, perut makin maju aja, Pak Angga," ledek Eska sambil melangkah menghampiri seorang pria dengan sang istri yang sedang sibuk memilih tas.

"Kebanyakan minum itu, Pak Sabda. Kan kemana-mana sama Koh Erik," sahut sang istri tanpa mengalihkan tatapannya dari tumpulan tas di keranjang diskon. Pria itu hanya terkekeh.

"Pak, gue udah lama deh nggak ketemu. Jarang main ya lo sekarang. Ada banyak yang pengen gue cerita.... "

Gemma yang sedang duduk di sofa tunggu hanya mengernyitkan dahi tanpa melepaskan tatapannya dari mereka. Perempuan itu terus bercerita menempel pada Eska. Sementara suaminya hanya meringis lebar berdiri tidak jauh dari Eska dan perempuan itu.

"Biarin. Masih gue pantau," gumam Gemma tanpa berniat untuk beranjak dari duduknya. Tangannya bersidekap, duduk nyaman.

Bahkan ketika Eska dan sepasang suami istri itu mulai melangkah pergi meninggalkan Sogo, Gemma masih tetap pada posisinya. Hanya mata yang bergerak memantau.

"Gue lihatin mau sampai mana," gumamnya lagi. Sementara si perempuan itu masih menempel dekat dengan Eska. Mulutnya terus bercerita, entah apa yang sedang dia tumpahkan pada Eska.

"Kalau nggak balik, suicit (suicide) namanya," ujarnya lagi.

Tidak lama, Eska kembali sambil tertawa. Dia meminta maaf sudah melupakan Gemma. Untung saja kembali. Kalau tidak? Ya, bunuh diri namanya. Gemma melenguh enggan.

"Asik bener romannya curhat. Emang lakinya nggak bisa dicurhatin apa?" dengus Gemma.

"Iya, maaf. Aku yang salah. Ayo, jangan kesel gitu."

"Dikata aku manequin kali," katanya lagi dengan nada sebal. Namun sebalnya Gemma hanya sesaat. Tidak benar-benar sebal.

***

Tbc

Geser Kanan Jodoh (TERSEDIA CETAK DAN EBOOK)Where stories live. Discover now