Bab 18

639 185 4
                                    

Entah sudah berapa lama Gemma menatapi lembar jadwal kerja karyawan. Mulutnya bergerak tanpa suara. Bahkan tidak menyadari ketika Pak Budi mengamatinya sejak tadi.

"Ngapain, heh?" tanya pria berkepala plontos itu.

"Nggak. Ini gue mau lihat jadwal libur lo ada yang bareng sama gue nggak?"

"Emang kenapa kalau ada?"

"Pokoknya lo harus ikut gue. Urusan ini harus ada orang luar biar nggak meleber kemana-mana."

"Kemana dulu, ngaco!  Gue mau pulang nih nengokin bini di kampung."

"Ada ongkosnya emang?" tanya Gemma sembarangan tanpa mengalihkan tatapannya dari lembar jadwal tersebut.

"Gue pinjem makanya."

"Nggak ah. Utang lo yang kemarin aja belum dibayar. Gue lagi ada urusan ini sama Mang Kusnandar. Makanya gue bilang lo harus ikut."

Pria itu berdecak. Gemma sendiri tampak acuh menyebut sebuah nama dengan label 'Mang'.

"Utang gue berapa sih? Dua ratus kan ya?"

"Hm. Gue anggap lunas deh kalau lo mau ikut gue."

"Bayarin ongkosnya?"

Gadis itu menoleh, sejenak menatap Pak Budi dengan mata menyipit. Seolah sedang menimbang dan tentu saja berhitung. Sesaat kemudian tangannya mengibas ke udara.

"Gampang. Lo tahu gue kan. Pergi sama gue kapan bikin susah?"

"Yaudah iya. Nanti aja awal bulan. Gue belain bolos. Mau kemana sih? Mang Kusnandar siapa?"

"Oke. Dih, masa lo nggak tahu? Bapaknya Prastya Maharani," jawab Gemma terbahak.

"Bapaknya Gemma Prahastiwi juga dong? Gue getok lo! Mau ngapain ke sana?"

"Minta warisan!"

Pak Budi membuang muka. Masalahnya Gemma pernah bercerita bagaimana kondisi perekonomian ayah kandungnya tersebut. Tergolong di bawah standar. Kabarnya kondisi tersebut dialami paska ayahnya berhasil menguasai warisan dari keempat kakaknya. Akan tetapi, yang namanya bukan hak milik, pasti akan menguap tanpa jejak. Gemma pun tahu dari ibunya yang kini sering menjadi tempat keluh kesah keempat kakak dari ayahnya itu.

"Nggak lah. Nggak tahu diri amat gue minta warisan. Jadi kemarin kan nyokap ke sana ngabarin sekaligus nanya berkenan nggak jadi wali nikah gue. Katanya gue disuruh ngadep sendiri ke sana. Cuma, lo paham kan? Kalau gue ke sana sendiri, yang ada bukan kesepakatan tapi peperangan. Orangnya kan maunya benar sendiri. Dulu gue masih bocah belum berani ngomong. Sekarang gue bisa balik-balikin kan. Percaya deh sama gue, kalau gue ke sana sendiri yang dibahas sama dia yang nggak jelas.  Lo lihat besok ya, kalau omongan gue meleset, lo boleh nggak percaya lagi sama gue."

"Iya, Gemma. Gue paham. Almarhum bapak gue kan nggak jauh beda sifatnya kayak bapak lo. Tapi ngapain repot-repot ke sana? Waktu kakak perempuan gue nikah, walinya pakai wali hakim. Bilangnya sama orang KUAnya bapaknya udah nggak ada. Bisa kok."

"Biarin aja. Kita coba dulu aja. Pengen lihat gimana jadinya ntar."

Gemma melemparkan senyuman sarat makna. Terus terang, hal yang paling gadis itu hindari sejak dulu ya ini. Masalah wali nikah. Namun mau tidak mau, memang sudah sampai di titiknya. Dimana Gemma harus berani menghadapi ini. Bagaimanapun nantinya, yang penting coba saja dulu. Meski dia sendiri sudah tahu bagaimana akhirnya. Kalau boleh meminta, gadis itu tidak ingin menjumpai sesuatu hal yang harus berkaitan dengan laki-laki itu. Baginya sudah cukup caci maki itu mengobati rasa penasarannya sejak kecil tentang bagaimana sosok ayah kandungnya.

"Oya, nanti kirimin data lo buat pesan tiket. Kita berangkat subuh ya, biar sampai sana pagi.  Terus nanti sorenya kita langsung pulang."

"Dari mana? Kalau ke Bandung kayaknya bisa naik dari Bekasi. Dari Penggilingan, rumah lo nggak jauh kan. Daripada kita harus ke Senen dulu atau Jatinegara."

"Iya. Dari Bekasi yang nggak terlalu pagi. Jadi kita juga nggak buru-buru amat berangkatnya."

Tangannya mengambil ponsel, mencari aplikasi pemesanan tiket online. Lebih cepat beres itu lebih baik, begitu pikirnya. Dia segera mengabari ibunya mengenai tanggal keberangkatannya menuju ke Bandung. Rencananya memang Gemma mengajak ibunya dan tentu saja Eska. Lalu Pak Budi sebagai orang luar yang Gemma percaya untuk berjaga agar laki-laki itu tidak keluar dari topik pembicaraan.

"Telepon tuh," ucap Pak Budi ketika Gemma beranjak dari duduknya.

Ada nama Eska di layar ponselnya. Gemma mengurungkan niatnya untuk beranjak. Tidak biasanya laki-laki itu menelepon di jam kerja seperti ini.

"Ya, kenapa, Yang?"

"Aku lupa nggak ngasih tahu kamu. Aku abis interview di Javamifi. Tapi range salary-nya kecil. Di 3,9. Kalau diterima nanti ditelepon. Kalau misal aku nanti ditelepon, menurut kamu gimana? Aku ambil atau nggak?"

"Wow! Emh, nggak apa-apa. Ambil aja dulu. Mana tahu ke depannya nanti ada yang lebih besar lagi."

"Kamu nggak apa-apa emang? Sama kamu gedean kamu lagi income nya."

"Nggak apa-apa. Rejeki kamu emang lagi dijatahnya segitu. Kan kamu yang bilang, mudah-mudahan sebelum acara lamaran, kamu udah nggak nganggur lagi. Sekarang dijawab kan sama Tuhan? Bersyukur dong. Inget, Yang, Tuhan nggak ngasih apa yang kita inginkan. Tapi apa yang kita butuhkan."

"Iya, aku ingat. Kirain kamu malu, mana yang katanya gaji 5juta. Nyatanya cuma di angka 3,9."

"Nurutin kata orang nggak ada habisnya. Gila sendiri kita jadinya. Ya udah, oya, awal bulan Agustus kita ke Bandung. Aku udah pesan tiket. Nanti Pak Budi ikut. Sengaja aku minta soalnya pasti kalau nggak ada orang luar, ngomongnya ngacau kemana-mana."

"Oke. Atur aja. Berarti nanti ke rumah aku pas abis dari Bandung aja ya?"

"Atur aja, Yang. Ya udah, mudah-mudahan ditelepon ya. Semangat! Jangan dulu dilihat dari nominalnya."

Gadis itu mengembuskan napas lega. Sejak kepulangannya dari Dieng, ketika hatinya sudah berjanji untuk mengakhiri senang-senang tak jelasnya, seolah masalahnya beres sendirinya satu per satu. Untuk kali ini masalah pekerjaan Eska. Semoga saja nanti masalah yang berkaitan dengan ayahnya bisa berakhir dengan jelas.

"Eska?"

"Hm. Ada kerjaan baru katanya."

"Baguslah. Inget, yang namanya mau nikah itu cobaannya banyak. Bisa rejeki yang datang atau diambil, bisa maut dulu yang datang atau jodoh dulu yang datang. Semoga aja acara lo nanti lancar."

"Aamiin. Makasih doanya, Pak Tua."

"Gini gini, gue masih bujang kalau di sini. Kalau di kampung beda lagi. Kan bini gue di kampung."

"Mau gue bikin prahara? Bini lo kan lebih percaya omongan gue. Gimana? Gue suka menciptakan keributan-keributan kecil."

"Ah! Ancamannya nggak asik. Serius!"

Gemma tergelak. Jangan tanya kenapa, karena gadis itu punya banyak kalimat bernada meyakinkan.

***

Tbc

Geser Kanan Jodoh (TERSEDIA CETAK DAN EBOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang