[Cakrawala Mandala Series #3]
Sri dan Putri adalah penulis genre fiksi sejarah yang dikenal gemar mempermainkan takdir tokoh-tokoh dalam ceritanya. Tak Sri sangka, cerita yang ia tulis menjadi awal dari keanehan yang terjadi. Putri pun tak menyangka...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Malang, 9 Mei 2019
Bel masuk setelah istirahat pertama dikumandangkan, siswa-siswi berhamburan masuk ke dalam kelas. Sri melihat ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 10:20 pagi. Dara duduk di bangku sebelah, sedangkan Dipuy di belakangnya. Seperti biasa, mereka akan berbincang sampai guru tiba dan pelajaran dimulai. Sri telah menceritakan tentang mimpi-mimpi anehnya kepada kedua sahabatnya, tetapi mereka menyuruh gadis itu untuk menganggapnya hanya sebagai angin lalu. Dan kali ini, mereka membicarakan perihal Dipuy yang tak membawa motor trail-nya ke sekolah.
"Tadi pagi aku kaget banget waktu lihat Dipuy duduk manis di ruang keluargaku. Tahu-tahunya, dia mau nebeng bareng aku, bapak, sama ibu karena motornya masuk bengkel lagi. Kok bisa, sih, motormu sakitnya bergilir?" tanya Sri kebingungan. Karena seingatnya, motor matic Dipuy baru dibenarkan sekitar satu hingga dua bulan yang lalu.
Setiap pagi Sri akan berangkat bersama bapak dan ibunya. Pertama-tama mengantar Sri yang sekolah di kawasan Tugu, lalu mengantar ibu yang mengajar seni di salah satu SMP di Kota Malang. Setelah itu, bapak baru pergi ke kantornya sebagai seorang supervisor. Bisa dibilang, Sri nyaris tidak pernah berangkat sekolah bersama Dipuy jika tidak ada hal yang mendesak.
"Oli motorku bocor, Sri," jawab Dipuy.
"Enak ya kalian berdua bisa saling nebeng, sedangkan aku apa-apa harus sendiri. Terus, nanti kalian pulangnya naik apa?" tanya Dara sembari mulai mengeluarkan buku paket Bahasa Jawa dari dalam tas. Sri ikut melakukan hal yang sama, lalu mengambil kotak pensil yang ia sembunyikan di kolong meja.
"Puy, kalau ada, nanti pulang sekolah kita naik bis sekolah, yuk. Lumayan, menghemat ongkos."
Dipuy mengangguk. "Boleh."
"Oh ya, Sri. Kemarin aku baru saja mengecek artikel tentang bedhol desa. Kamu tidak memasukkan kejadian kesurupan massal itu, ya? Padahal kalau yang menulis artikelnya itu kamu, aku yakin kejadian itu setidaknya akan disebut. Tapi, ternyata tidak. Padahal aku sangat penasaran dengan sudut pandangmu mengenai hal itu," papar Dara. Sebulan yang lalu Sri sudah menyerahkan artikel itu kepada wakasis untuk diunggah ke laman luring sekolah. Rupa-rupanya sang sekretaris kedua OSIS baru membacanya kemarin.
"Kurasa hal seperti itu tidak baik untuk ditulis dalam artikel, Ra. Apalagi website sekolah kan ditujukan untuk membangun citra yang baik dari masyarakat terhadap sekolah kita. Selain itu, aku harus bisa mempertanggungjawabkan artikel yang kutulis. Kalau ada apa-apa, aku juga yang susah. Jadi, hal-hal aneh seperti kesurupan massal itu, disimpan untuk konsumsi pribadi saja. Mana mungkin aku mencantumkan jika aku berpandangan dengan siswa yang dirasuki maung, bukan?"
Dipuy dan Dara sama-sama mengangguk paham. Hari pertama masuk sekolah setelah kegiatan itu, mereka saling bertukar cerita tentang kesurupan massal tersebut. Dara dan Dipuy mengatakan bahwa para panitia harus kembali ke desa tersebut untuk memulangkan para lelembut yang terbawa hingga sekolah mereka. Sri menceritakan tentang ucapan inangnya, juga tentang maung yang ketakutan setelah melihatnya. Mereka merasa bahwa semua itu adalah pengalaman paling tak terlupakan karena selama hidup, baru kali ini mereka melihat kesurupan massal dengan mata kepala sendiri.