2

1.6K 270 40
                                    

PERAWAKANNYA sedang, barangkali sepantar Uchi atau Jia

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

PERAWAKANNYA sedang, barangkali sepantar Uchi atau Jia. Potongan rambutnya seperti hasil tren haircut hack yang memangkas kuciran dalam sekali gunting—pendek di dalam dan panjang di luar. Jaket puffer warna lila membungkusnya walau hari tengah terik, memberi kesan setengah-astronot setengah-sauna berjalan. Perempuan ini yang diutus sebagai penjaga?

Arun menggeser pagar lebih lebar dan memeriksa kembali tamu itu. Namun, yang dilihatnya masih sama. Senyumnya yang mengatup bibir terentang bagai keju mozzarella ditarik. Arun membalasnya dengan kepala menunduk canggung, tetapi sebelum sempat membuka mulut, dia justru disalip perkenalan dari lawan bicaranya.

"Saya Orlin." Dia mengulurkan telapaknya. "Saya diminta Ibu Lis mengawasi pengiriman buket bunga pesanan beliau ... ini benar dengan Drina Craft, kan?"

Tunggu. Untuk apa dia meminta bersalaman? Dia bukan pewawancara dan ini bukan sesi interviu. Namun, tangan Orlin tetap terjulur. Dia berkata lagi.

"Saya udah cuci tangan dan pakai hand sanitizer, kok. Atau kamu yang belum?"

Enak saja. "Saya baru cuci piring." Enggan, Arun menyambut tangan Orlin. Digenggamnya dua detik kemudian dilepasnya. "Arun. Kakak saya yang punya Drina Craft."

"Oh ... oke. Jadi, gimana mekanismenya? Saya buntutin kurir aja sampai ke tujuan?"

"Kurirnya saya. Rencananya saya mau bawa sepeda, tapi saya lihat kamu pakai motor."

Orlin menoleh sekilas sehingga ujung-ujung rambutnya yang tak rata itu berayun sedikit. "Iya, sih. Berarti, kamu ikut saya? Loh, terbalik, dong. Saya jadi kurir, kamu yang jaga."

Tawa Orlin seirama dengan caranya berbicara: senapas-senapas, berentet, dan singkat. Entah apa yang sedang memburunya. Semestinya, jika Orlin sebaya dengan Arun, dia pasti juga sudah menjalani pekan ujian. Atau memang sehabis ini dia punya kegiatan lain.

"Kamu buru-buru, nggak?" Arun bertanya.

"Hm, nggak juga. Saya sengaja luangin waktu, soalnya setengah upah saya udah ditransfer."

Upah? "Kamu dibayar?"

Barangkali karena nada bicara Arun yang berubah atau justru sudah memperkirakan pertanyaan itu, Orlin menggerak-gerakkan tangannya, mengiringi ekspresi dengarkan-penjelasanku-dulu. "Ehm, ya. Saya dipekerjakan Ibu Lis. Kami nggak ada hubungan keluarga—saya bahkan nggak tahu beliau selain sebagai orang yang menugaskan saya. Saya juga nggak sukarela karena dari awal Ibu Lis memang mencari orang yang bisa menjaga antaran buket. Kamu buru-buru?"

Arun mencerna kalimat itu. "Ya?"

"Lagi buru-buru, nggak? Kalau iya, ayo kita berangkat."

Sehimpun tanya masih bertumpuk di kepala Arun saat Orlin berjalan ke motornya. Bagaimana Orlin bisa tahu Arun menyangkanya masih keluarga Ibu Lis? Apa karena tugas itu terlalu ganjil jika dilakukan orang asing? Mengapa juga Ibu Lis sampai menyewa jasa untuk hal yang sebetulnya tak perlu? Apa istimewanya buket buatan Mbak Drina? Apa Ibu Lis datang ke resepsi pernikahan teman Mbak Drina yang memesan buket itu, lalu tertarik, dan ingin memilikinya juga? Tapi untuk apa?

MemoriografiWhere stories live. Discover now