26

450 153 12
                                    

SEBENTAR lagi, Arun akan tiba di depan gerbang berpagar rumah Haris

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

SEBENTAR lagi, Arun akan tiba di depan gerbang berpagar rumah Haris.

Dia awalnya mengira Orlin tengah menunggu di bawah pohon mangga. Nyatanya, Orlin—dan Haris—berlari menuju gerbang begitu Arun berhenti, suaranya nyaring meneriakkan nama Arun dengan u panjang. Dia berhenti mendadak tepat sebelum menabrak pagar lalu berpegangan erat pada baris-baris yang membatasinya dengan Arun. Haris, di belakang, menyusul lambat-lambat.

"Tepat!" seru Orlin lagi. Rambutnya masih berpotongan zig-zag, senyum mozzarella-nya masih merentang lebar, jaket puffer-nya masih membuat Arun gerah hanya dengan melihatnya. Benarkah Orlin kabur dari rumah seharian kemarin? Kelihatannya dia tak berbuat apa-apa sejak mereka terakhir bertemu, seperti momen yang dibekukan foto. Dan dari nihilnya pertanyaan tentang buket ataupun motor, Arun hanya berasumsi 'tepat' itu berarti segala yang sudah diperkirakannya, dengan caranya sendiri.

Arun mengedikkan dagunya. "Naik!"

"Tunggu," tolak Orlin. "Tadinya harapan saya ke kamu buat tebak yang benar cuma empat puluh dua koma delapan persen, loh. Kok, bisa kamu kalahin yang lima puluh satu koma delapan persennya?"

"Karena satu, orang yang meremehkan biasanya kena batunya, dan dua, kamu belum kenal saya yang sebenarnya," jawab Arun percaya diri. "Ayo."

Akhirnya Orlin keluar pagar. "Oke, deh, Bruce Wayne. Sini, saya pegangin buketnya."

"Eh." Arun mengangkat tangannya, menghentikan gerakan Orlin. "Kamu nginep di Haris?"

"Apaan!" bantah Haris kilat. "Dia juga baru ke sini tadi pagi!"

Arun terkekeh, melirik Orlin, dan ternyata dia juga balas menyengir. Haris menatap jengkel tapi tak lama menetralkan raut wajahnya lagi. Arun lanjut bertanya, "Disuruh ngapain aja?"

"Pegangin buku, ambilin spidol, bantuin mikir gimana caranya ngomong ke lo—"

"Ssst! Rahasia!" giliran Orlin yang menyambar jawab. "Kita berangkat sekarang! Let's go!"

Haris melambai asal-asalan setelah Arun dan Orlin pamit. Arun menyerukan rasa terima kasihnya, berharap Haris masih mendengar sebelum dia kembali ke rumahnya. Ini kali pertama Arun membonceng seseorang lagi, dan seakan diingatkan, kecepatan Arun melambat dan keseimbangannya terganggu. Namun, dia juga cepat mengatasinya. Orlin tak akan sempat menyadarinya; toh, dia juga sedang kesulitan membawa buket agar tak rusak, seperti yang Arun lakukan dulu.

Angin dari arah depan menerpa sejuk. Hijaunya pepohonan yang menghampar rimbun dalam lekuk kontur bukitnya menyegarkan mata. Kali ini, Arun benar-benar mengalami momen 'inilah saatnya' dan memercayainya. Rumah itu rumah yang tepat. Jadi, seperti ini rasanya berhasil melakukan sesuatu yang besar di luar sekolah, gim, dan lapangan.

"Lin!" panggil Arun di tengah riuh angin. "Ngapain aja—"

"Saya minta maaf!" ujar Orlin tiba-tiba. "Saya salah udah bohong sama kamu. Padahal seharusnya ada cara lain. Tapi saya malah pilih cara itu."

MemoriografiWhere stories live. Discover now