25

465 157 31
                                    

HAL terberat dari sebuah pertandingan bukanlah saat itu berlangsung atau saat mengetahui hasilnya, melainkan awalnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

HAL terberat dari sebuah pertandingan bukanlah saat itu berlangsung atau saat mengetahui hasilnya, melainkan awalnya. Seyakin-yakinnya Arun berhadapan dengan lawan atau seluas-luasnya dia menerima kekalahan, dia tetap membutuhkan waktu lebih lama hanya untuk memulai. The tunnel moment, detik-detik pemain berbaris di lorong sebelum bertanding, begitulah Arun menyebutnya.

Akan tetapi, tak ada yang lebih memberinya semangat daripada melihat rekan setimnya bersiap. Api berkobar di mata dan kepalan tangan. Sorakan suporter semakin membakar gelora itu. Mereka mungkin hanya berlima, turnamennya pun lokal, dan penontonnya paling banyak hanya separuh angkatan di sekolah. Namun, semua mendukungnya, setiap individu yang berjalan bersamanya dan meneriakkan namanya itu. Mereka percaya padanya.

The tunnel moment-nya kali ini bukan di pinggir lapangan atau sebelum bertanding, tapi semuanya terasa persis seperti itu. Dia rapuh dan kuat dalam waktu yang sama, takut memulai, tetapi yakin ini harus dilakukan. Dipandanginya setangkai lisianthus putih di tangannya sebelum dimasukkannya lagi ke kantong buket. Bunga yang halus, unik, dan ... entahlah. Dia tergoda untuk berbalik, tapi sayangnya dia sudah sampai di tempat tujuan.

Arun kembali menarik bunga itu dari kantong kertas, meninggalkan buket Ibu Lis di motor, dan berjalan maju. Akhirnya dia kembali ke Graha Seroja Indah setelah mati-matian mencoba mengenyahkan kegamangannya lima hari belakangan, dan setelah salah Lis yang mengira dikirimi buket dari mantannya. Mantan ... mungkin itu status Arun setelah ini. Walau tak bernama, walau tak ada ikatan, jejak kenangannya bersama Jia tetap menetap. Mantan gebetan. Mantan hubungan tanpa status. Mantan teman tapi mesra. Mantan teman. Entahlah.

Di depan rumah Jia yang berdinding sudut melengkung, berjendela bulat, dan berkosen kayu, Arun tercenung. Cat kuning pucat itu selalu di sana, begitu juga anggrek koleksi ibu Jia. Satu-satunya perbedaan hanya penambahan ubin bermotif di carport. Ini masa kecil dan remaja Arun. Ini teh vanila sajian tiap bertamu, manisnya pas selalu. Ini lemari kayu yang memuat suvenir negara persinggahan ayah Jia saat berlayar. Ini bola plastik kempis milik adik laki-lakinya, yang terlalu bersemangat saat Arun ajari shoot hingga bolanya membentur meja. Bagaimana merelakan itu semua? Bagaimana agar tidak terlena?

Percaya. Arun pasti bisa melalui ini. Ya, semuanya pernah terjadi. Ya, semuanya indah. Namun bukan berarti Arun tak akan mendapat yang lebih indah, bukan? Diketukkannya gembok pagar rumah Jia tiga kali, lalu dipanggilnya Jia. Arun sempat menelan ludah dulu sebelum memanggilnya lagi. Tenggorokan kering adalah hal terakhir yang dia butuhkan sekarang.

Jia menjawab. Dia keluar dari pintu depan, seruan 'yaaa?'-nya riang seolah itulah suasana hatinya saat bertemu Arun. Kaus hitam, celana basket gombrong putih, rambut dikucir kecil, segala penampilan rumahannya yang familier. Meski diwarnai rasa heran, senyum Jia mengembang, menarik bibir Arun untuk ikut tersenyum semanis itu.

"Hei, Arun." Matanya berbinar. "Kukira mimpi, eh—loh, ke sini naik motor Mbak Drina? Ih, curang nggak cerita-cerita! Pasti lagi buru-buru."

Bagaimana bisa semua ini kepura-puraan semata? Perhatiannya, caranya menebak isi kepala Arun, apa pun yang sedang Jia lakukan ini. Sepertinya Rani dan Uchi belum bertanya apa-apa padanya. Arun hampir berpikir ulang apa sebetulnya dia yang terlalu mengidealisasikan Jia, atau hanya kurang peka, atau kurang segala-galanya. Nanti saja. "Maaf tahu-tahu datang. Lagi sibuk?"

MemoriografiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang