28

1.2K 175 56
                                    

DALAM perjalanan pulang dari sekolah sepak bola, di bawah arakan awan Mekarjati, Arun mengingat lagi yang Orlin lakukan sebelum mendatangi Ibu Lis setahun lalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

DALAM perjalanan pulang dari sekolah sepak bola, di bawah arakan awan Mekarjati, Arun mengingat lagi yang Orlin lakukan sebelum mendatangi Ibu Lis setahun lalu.

Usai berpisah dengan Arun di depan patung Pegasus, Orlin terus lanjut mencari alamat yang benar. Dia kembali ke alamat pertama, Ibu Eneng Elisabeth, atau lebih tepatnya ke kediaman Bapak Edi yang baru. Dari perbincangannya dengan Bapak Edi yang menerima dua tangkai bunga lilinya untuk Ibu Eneng Lis, Orlin mendapat info komunitas nama Lis yang didirikan Ibu Lismaya, yang kemudian menuntunnya pada Rumah Seroja.

Orlin juga meminta Zidan alias Ibu Lis pura-pura untuk menunggu buket yang baru. Sebetulnya, prediksi buket baru itu awalnya hanya tebakan liar Orlin. Tindakan itu didorong perasaan dan logikanya yang masih saling mengganjal, sampai akhirnya Orlin menghubungi Mbak Drina dan bertanya soal penyuplai bunga. Mbak Drina pun membocorkan pesanan terbarunya yang langsung Orlin konfirmasi keesokan hari dengan menyambangi Ibu Kalis. Tentunya sesudah curhat pada Haris sambil mendengarkannya mengulik Physical Education dari Animals as Leaders.

Orlin merencanakan pergerakannya. Dia juga ternyata memiliki hati nurani. Syukurlah bila dia sedang berusaha menjadi lebih baik daripada kegilaannya yang lalu-lalu, dan semoga saja begitu.

Arun tiba di depan pagar rumah lalu mengambil kunci dari tasnya. Hari ini Mbak Drina dan Mas Kal sedang melihat-lihat perumahan terdekat, salah satunya permukiman rumah mungil di bawah rumah Ibu Lis. Jadi Arun akan menjaga rumah setidaknya sampai nanti sore. Jika cocok, mereka akan mengambil langkah lebih lanjut, dan setelahnya lebih lanjut lagi, hingga nantinya membentuk keluarga impian mereka. Sudah satu tahun berlalu sejak karir kurir Arun yang singkat, tapi rasanya cukup sekedip saja untuk sampai di sini. Memang tidak dalam waktu dekat, tetapi kelak, Arun akan sendiri. Namun, dia juga selalu bisa berkunjung.

Beres membuka gembok dan kunci, Arun sampai di dalam dan bebenah diri sebelum bersantai di kursi ruang tamu. Jam segini Bunda mungkin sudah selesai memasak. Arun menekan nomor kontak Bunda dan tombol telepon, lalu menunggu nada tunggu berhenti untuk menyampaikan salam.

Bunda membalasnya. Beliau bertanya tanpa basa-basi. "Kenapa, Run?"

"Nggak, ini Arun baru pulang. Habis ini mau masak telur."

"Ceplok atau dadar? Garamnya ditabur aja, nggak usah pakai sendok."

"Siap, chef." Arun tertawa.

Bunda terdengar seperti sedang tersenyum. "Gimana latihan hari ini? Ada yang cedera lagi?"

"Cuma jatuh. Ringan, bisa jalan lagi. Yang masih belum masuk ada satu. Tapi sisanya fit dan siap tanding Minggu ini. Semifinal pertama, sih, jadi pada deg-degan."

"Coach Yana bilang apa aja?"

"Seperti biasa, good job. Tadi Arun kebagian lari ulang-alik sama dribble."

Bunda dan Arun saling berkabar sedikit lagi sebelum mengakhiri telepon. Dia sangat bersyukur orang tuanya mendukung langkahnya. Semoga bulan depan rencana berkunjung mereka lancar.

MemoriografiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang