11

574 168 8
                                    

BENAR-benar sulit dipercaya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

BENAR-benar sulit dipercaya.

Bukan, ini bukan tentang pemandangan rumah di foto pertama. Dinding kuningnya biasa saja, jendelanya juga hanya persegi berdaun dua. Tanaman dalam pot berjajar di satu sisi halaman depannya dan kira-kira masih setinggi paha orang dewasa. Satu-satunya yang membuat Arun penasaran hanya nomor rumahnya karena tak ditampakkan. Bisa jadi nomor 12A.

Foto kedua juga tak ada yang istimewa. Sebuah buku jurnal bersampul kulit cokelat muda. Kulit sapi? Sintetis? Kalau Mbak Drina di sini, pasti Arun sudah diberitahu bedanya. Tak ada nama pemilik di sampul jurnal itu, tak ada pulpen di sampingnya pula. Penutupnya hanya ikatan tali sederhana dan sehelai kertas terjepit tak sejajar di tengah-tengah, seakan disobek dari buku lain lalu diselipkan di sana. Selain kertas itu, rasanya tak ada lagi yang mencurigakan.

Yang tak masuk akal adalah, mengapa Orlin sampai harus mencetak fotonya seukuran poster begini?!

"Terniat." Hanya itu komentar Arun sambil bertopang dagu.

"Ya, harus, dong!" balas Orlin. "Kamu mau mata kita juling gara-gara perhatiin foto hasil kiriman yang udah dikompres aplikasi chat? Kalau besar begini, kan, kita jadi bisa lihat detailnya."

Wow, oke. "Ini kamu masukkin ke Remini juga?"

"Plus Photoshop. Brightness dan contrast adalah jalan ninjaku." Orlin menjentikkan jari dua kali. "Ayo, fokus. Apa hal pertama yang mengganggu kamu dari dua foto ini?"

Arun mengambil foto pertama. Ternyata besarnya masih sedikit lebih kecil dibanding poster Manchester City yang dia dapatkan dari tabloid. Didekatkannya foto itu, lalu diamatinya jengkal per jengkal. Tak ada yang mengganggunya. Rumah Ibu Lis yang di bukit atau Lilis yang di Seroja Indah bahkan lebih menarik perhatiannya ketimbang rumah secerah matahari ini.

Tunggu. Ada satu. "Kenapa lampunya nyala? Ini masih siang, kan? Penghuninya pergi?"

"Bukan siang, ini efek brightness yang saya naikkin. Kemungkinan foto diambil menjelang magrib, karena ini lampu sensor yang nyala kalau sekitarnya udah redup." Orlin menunjuk lampu yang dimaksud. "Jadi bisa aja penghuninya ada di dalam, bisa juga lagi di luar."

Arun mengangguk-angguk. Perhatiannya kembali pada foto. "Kayaknya ... pemilik rumah ini suka warna filter kunyit. Cat dindingnya kuning. Potnya oranye, gradasi dari tua sampai muda. Cuma kosen jendela yang warna putih. Ibu Lis pesan buket warna krem-krem gitu, kan? Cocok, dong."

Orlin mendelik. "Ya, kalau betul ini rumah Ibu Lis."

"Lah?" tanya Arun heran. "Terus ngapain Ibu Lis kirim foto ini ke kamu?"

"Selain foto, Ibu Lis juga bilang sesuatu, tapi bukan tentang rumah ini. Lihat lebih teliti. Coba cari sesuatu yang tersembunyi di situ."

Apa lagi? Arun menajamkan fokusnya. Dia tak mau membuang waktu, tapi dia juga enggan menyerah dan mungkin membuat Orlin menganggapnya tak kompeten. Arun percaya matanya cukup jeli menangkap keganjilan seperti ketika dia bermain Another Case Solved. Namun, bagaimana mau membuktikan ini bukan rumah Ibu Lis kalau Ibu Lis saja dia tak kenal?

MemoriografiWhere stories live. Discover now