3

1.2K 232 41
                                    

JIKA ditanya apa film favorit Arun, dia akan mantap menjawab film yang membuatnya menangis

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

JIKA ditanya apa film favorit Arun, dia akan mantap menjawab film yang membuatnya menangis. Genre-nya bebas saja asalkan bisa menguras emosi. Dia percaya film yang baik semestinya tak membatasi luapan haru para karakternya, apa pun tema yang dibawakan. Zombie? Train to Busan berhasil membuatnya sesenggukan. Space? Hatinya luluh ketika ayah dan anak itu bertemu di Interstellar. Anime? Dia bersumpah tak akan lagi menonton Grave of the Fireflies mau dibayar berapa pun juga. Mbak Drina sampai membawakannya teh hangat setelah melihat matanya sembap di depan laptop. Malukah Arun? Tidak perlu. Semua manusia apa pun gendernya pasti punya kelenjar air mata.

Namun siang ini, Arun lebih memilih menyaksikan lagi momen terakhir Seita dan Setsuko ketimbang berdiri panik di hadapan seorang asing yang sama sekali tak mengerti keadaan. Buket bunga ini belum sampai ke tangan penerima sesungguhnya. Tugas mereka belum berakhir. Harusnya Orlin, yang bekerja untuk Ibu Lis, juga khawatir, bukan? Ya, jika dia memang berpikir dengan wajar. Dinilai dari sikapnya sekarang, berteriak 'yes yes yes' yang tak dimengerti bahkan oleh burung sekalipun, alih-alih cemas malah kegembiraan yang tampak.

"Semuanya jelas," ucap Orlin, lebih pada dirinya sendiri sambil mengepalkan kedua tangan. "Alasan kenapa Ibu Lis bayar uang muka, kenapa Ibu Lis pilih sendiri siapa yang bisa awasin buket ini, dan kenapa pesan di tempat kerajinan lewat e-commerce. Bagus! Memang keputusan yang tepat udah terima tawaran pekerjaan ini!"

Jelas dari mana?!

"Tuh, kan. Udah ketebak, pasti hari ini bukan cuma anterin buket. Oke, kira-kira variabel apa yang bisa diperhatikan dulu dari sini?"

"Kamu ngomong apa, sih?" Arun berusaha menyela.

"Gimana kalau mulai dari alamat? Ibu Lis pasti taruh petunjuk di situ, karena dari mana lagi kita tahu tempat tinggal beliau selain alamat meskipun itu yang salah? Perumahan Bukit Persada, Jalan Seroja, atau nomor 12A bisa jadi ada kaitannya sama alamat sesungguhnya—"

"Hoi," panggil Arun. "Lin!"

"Atau dari buket? Kenapa harus pesan buket? Kita punya bentuk hand-tied, bridal style, tiga macam bunga, dua macam greenery, palet warna peaches and cream—"

"Orlin!"

"Digabung sama bunga yang lagi musim di sini—eh, iya. Oh! Lupa. Masih ada kamu."

"Masih ada siapa maksud kamu?"

Arun tak perlu menyeram-nyeramkan wajahnya atau sampai menggeram untuk memberitahu perasaannya, karena di balik wajah tenang itu, pasti Orlin mampu menangkap maksudnya. Dia juga tak mau menghabiskan tenaga untuk melampiaskan kekesalan pada seorang perempuan. Namun setidaknya, Orlin harus paham bahwa mereka, terutama saat ini, perlu bekerja sama.

"Ini permainan!" Dua tangan Orlin membuka bak kembang api. "Pesanan, pengiriman, buket bunga, semuanya. Ibu Lis pasti sengaja cari orang yang cocok buat ikutin teka-tekinya dan sengaja transfer setengah upah di awal buat modal. Ibu Lis juga pasti udah spesifik pilih Drina Craft, pilih buket itu, dan pilih alamat itu. Ya, kan? Itu artinya beliau udah kasih semua petunjuknya, dan sekarang tinggal tugas saya buat cari solusinya."

MemoriografiWhere stories live. Discover now