14

479 170 10
                                    

NAMANYA memang rumah sakit

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

NAMANYA memang rumah sakit. Namun, Rumah Sakit Bestari Holistic memiliki kata 'holistic' di belakangnya, yang membedakannya dengan rumah sakit konvensional, dan itu bahkan dimulai sejak pintu gerbang. Bak memasuki kompleks vila, Orlin dan Arun menyusuri jalan berkelok yang bertepi semak bunga dahulu sebelum mereka mengambil tiket dan menuju tempat parkir beratap. Lokasinya yang berada di sisi lain bukit mendukung suasana sejuknya. Sepanjang jalannya, di antara pepohonan yang tersebar, spanduk arahan Dinkes serta cara mereka bekerja—fokus pada perawatan yang menyeluruh dan natural-menyapa besar-besar.

Petugas di mulut gedung utama memeriksa identitas mereka; Arun KTP dan Orlin KTM. Kemudian, mereka diarahkan ke lorong khusus yang terpisah dari bangunan utama. Di ujung lorong, mereka mensanitasi diri dengan losion antiseptik yang sudah disediakan. Pintu masuk khusus pembesuk ternyata berupa pagar berjeruji yang dijaga seorang perawat.

"Keluarga pasien?" tanyanya.

Arun dan Orlin sudah berkendara hampir empat puluh menit termasuk berhenti sekitar tiga menit karena salah ambil tikungan. Selama itu, mereka hanya berpikir tentang jalan dan jalur, apakah tempatnya masih Mekarjati atau sudah masuk kecamatan lain, apakah akan kena ganjil-genap, akankah ada razia STNK, bukannya memikirkan apa yang mereka katakan di rumah sakit.

"Bukan."

"Iya."

Arun memelototi Orlin. Beraninya dia berbohong?

Perawat itu mengangkat satu alisnya. "Selain keluarga pasien, jam besuk baru dibuka satu jam lagi."

Jam dinding di belakang perawat menunjukkan angka sembilan kurang delapan menit. Tak jauh dari situ, sebuah plang mengumumkan 'JAM BESUK 10.00-12.00'. Mereka bisa menunggu. Bunga di buket ini juga pasti bisa bertahan satu jam saja. Arun tersenyum.

"Saya keluarga, Sus. Keluarga Dokter Mia." Orlin menepuk dadanya.

Ternyata pelototan Arun saja tak cukup. Disenggolnya Orlin di siku. Dia tak mau melakukannya, tapi dengan cara apa lagi agar Orlin sadar?

Orlin sadar. Dia mengerjapkan matanya cepat. Ya, Tuhan.

"Nama pasien?" ucap perawat itu tak acuh.

"Bibinya Dokter Mia. Ibu Lis." Orlin meringis. "Dokter Mia? Tahu, kan?"

Apa yang dia lakukan? Mengetes apakah Dokter Mia bekerja di sini dan mengharapkan free pass dari namanya? Perawat andal pasti tak akan seceroboh itu.

"Nama pasien?" ulangnya.

"Hem, sebetulnya kami ke sini mau menjenguk bibinya Dokter Mia, Ibu Lis, dan saya keluarga dari sisi Ibu Lis. Jadi ibu saya sepupu jauhnya Ibu Lis, karena ayah Ibu Lis adik dari ibunya ibu saya—"

Arun mengarahkan Orlin untuk mundur. "Udah, ikut saya aja jenguknya. Tunggu sebentar lagi."

"Tuh, dengerin kata dia," tunjuk perawat itu pada Arun tanpa menoleh.

MemoriografiWhere stories live. Discover now