5

875 211 27
                                    

"JADI

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"JADI ..." Mas Kal mengacungkan garpunya. "Arun sama Orlin—itu kan, namanya?—harus cari alamat yang betul cuma berbekal petunjuk seadanya ini? Dan kalian bahkan nggak tahu siapa itu Bu Lis?"

Arun mengangguk pelan. Dilahapnya potongan cheesecake terakhir sebelum membereskannya di tempat cuci piring. Dia kembali ke ruang keluarga, duduk menghadap TV yang menayangkan program ragam malam, dan mendapati Mas Kal masih dalam mode berpikir. Mbak Drina di sebelahnya mengambil cheesecake dua potong.

"Memangnya kita nggak bisa minta foto dia atau rumahnya, gitu?" tanya Mas Kal.

Mbak Drina dan Arun bersitatap. Ide bagus. Namun, Arun ragu jika itu etis. Di hadapan seloyang cheesecake buatan Mbak Drina yang sekarang sudah tinggal separuh, mereka bertiga membicarakan saga Ibu Lis setelah Mas Kal diceritakan versi penuhnya. Sebelumnya, Mbak Drina mengaku bahwa bila siang tadi Arun dapat menemukan alamatnya, Mbak Drina tak perlu memberitahu Mas Kal; cukup bagian besarnya saja. Kenyataannya, Arun justru bertemu Lilis yang punya mantan pacar cupu.

Mbak Drina menyuap terlebih dahulu. "Kalau kita pakai alasan dan mintanya baik-baik, bisa aja, sih."

"Tapi ..." Arun teringat Orlin. Dia mungkin tak akan setuju. Namun, kecerdasan Arun semenjana, jadi boleh bukan, kalau dia punya lebih banyak petunjuk? Akan tetapi—lagi—bisa saja Orlin justru mendapatkannya lebih awal, hanya belum dibagikannya pada Arun. "Arun tanya Orlin dulu."

"Memang kamu punya nomor HP-nya?"

Arun mengedikkan pundak. "Besok?"

Garpu Mas Kal teracung lagi. "Bunga yang di dapur itu punya Bu Lis?"

Mbak Drina mengangguk sambil mengunyah. "Hm."

"Bisa tahan berapa lama?"

"Paling lama sepuluh hari. Ya, tapi, semoga aja rumah Bu Lis cepat ketemu."

"Arun juga nggak mau cari sepuluh hari berturut-turut!" protes Arun. "Kalau Orlin, kan, dibayar."

"Oh, jadi kamu mau bayaran juga? Cheesecake aja nggak cukup?"

"Mbakmu ini cuma mau bikin cheesecake, sih." Acungan garpu Mas Kal mengarah ke lengan Mbak Drina. "Padahal Mas sukanya brownies."

"Loh, boleh, kan, masak buat diri sendiri? Kalian aja yang numpang makan," cengirnya.

"Ya, deh. Kasihan, dapat costumer begitu amat." Mas Kal merangkul Mbak Drina. "Sini, siapa yang pusing gara-gara sempat dikasih bintang satu? Udah diganti, kan?"

Mbak Drina menyandarkan kepalanya di dada Mas Kal. Mereka memosisikan diri sehingga saling menumpu, tetapi tetap nyaman dibawa menonton seraya menyantap kue. Tangan Mas Kal yang tak memegang garpu mengelus rambut Mbak Drina sementara Mbak Drina meneruskan ceritanya.

Sudah biasa. Sejak mereka tinggal bertiga, Arun akan sesekali menemui pemandangan mirip-mirip ini: pelukan sebelum Mas Kal pergi kerja, kecupan kilat di pucuk kepala saat Mbak Drina sibuk membuat suvenir, kedua lengan melingkari pinggang sebab salah satunya berinisiatif memulai perang kelitikan. Semua yang membuatnya mual sekaligus lega. Sesekali Arun membayangkan apa jadinya jika Mas Kal dan Mbak Drina jadi menempati rumah yang nyaris dibeli dan Bunda dan Ayah tak pindah. Mereka akan punya privasi lebih luas, tak perlu mengurus Arun, dan barangkali akan lebih bebas mengejar impian mereka memiliki anak ... Arun harus menyetop otaknya agar tak berpikir terlalu jauh hingga menyalahkan diri sendiri.

MemoriografiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang