18

459 160 16
                                    

ORLIN meminta Arun ke depan rumah menjelang pukul delapan pagi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

ORLIN meminta Arun ke depan rumah menjelang pukul delapan pagi. Ini hari ke ... sembilan? Sepuluh? Arun sudah ogah menghitungnya. Dilihat dari pengajuan itu, Orlin mungkin akan langsung membawanya ke alamat Ibu Lis yang sebenarnya. Tidak ada lagi tebak-tebak buah manggis.

Syukurlah.

Arun bergegas duduk di boncengan begitu Orlin tiba, lalu mereka berdua pergi meninggalkan rumah Arun. Tiga kali Orlin berhenti dulu untuk melihat peta digital sampai Arun mengambil alih dan membantu menunjukkan arahnya. Daerah ini cukup ramai dan dikenal; sebuah permukiman kelas menengah ke atas yang lebih dikenal sebagai jalur alternatif mudik ketimbang perumahannya. Jalannya lebar, kadang dibatasi semak rapi, dan lewat bundaran juga. Di tengah bundaran itu ditempatkan sebuah patung Pegasus putih yang baru dipugar sehingga tampak lebih bersih. Namun, mereka tidak akan bertandang ke salah satu rumah besar di situ.

Seruas jalan berukuran sedang mengarahkan mereka keluar permukiman itu dan memasuki permukiman baru. Orlin mengikuti tiap kelokannya hingga bertemu gapura dan rumah-rumah yang lebih sederhana tetapi tetap rapi. Arun mengonfirmasi nomor rumah di peta dengan yang mereka temukan, lantas turun dan berdiri tak jauh di depannya. Disimpannya helm masing-masing.

"Ini rumah caregiver Ibu Lis yang asli," tutur Orlin.

Arun memindai rumah berdinding putih dan berkosen hitam itu. "Emang Ibu Lis balas apa kemarin?"

"Beliau bilang, ya, salah kirim. Seharusnya itu buat keponakannya yang suka catat hal-hal penting. Terus saya minta alamatnya dan dikasih alamat keponakannya ini, sama alamat Ibu Lis. Tapi pas saya cek alamat Ibu Lis di Maps, ternyata malah ditunjukkin bagian Bukit Mekarjati yang masih hutan. Makanya kita ke sini dulu."

"Nomor rumahnya tetap 12A dan ada Seroja atau Persadanya?"

Mata Orlin melirik ke atas. "Kayaknya nomornya tetap."

Arun menyipit. "Kenapa nggak lihat langsung chat-nya aja?"

"Betul, kok. Saya udah cek sekelilingnya, pohon semua. Dari rumah Haris aja jauh banget."

"Cuma nomor rumahnya, Lin, coba dicek lagi. Bawa HP, kan?"

Orlin mengeluarkan ponselnya seolah dalam mode gerak lambat. Jemarinya menekan ikon aplikasi dan ruang chat Ibu Lis. Diperlihatkannya percakapan itu meski ponsel tetap di tangan Orlin.

Arun membaca alamat rumah keponakan Ibu Lis-yang ada di depan mereka ini-dan alamat rumah Ibu Lis sendiri. Bedanya, alamat Ibu Lis berupa share location. Apa Ibu Lis baru belajar mengoperasikan fitur itu? Namun tiba-tiba Orlin hendak mengambil ponselnya.

"Hei-tunggu." Diraihnya ponsel Orlin, tapi luput.

"Udah, kan?" tanya Orlin.

"Coba lihat Maps alamat Ibu Lis."

Orlin menurut. Ditunjukkannya lagi ponselnya. Semua yang dikatakannya betul kecuali nomor rumah yang tak disebut, dan titik yang ditandai jauh dari rumah Haris ataupun dari salah satu 'Lis' yang pernah mereka kunjungi. Arun refleks menekan tombol 'kembali' dan mendapati ruang chat Ibu Lis lagi.

MemoriografiWhere stories live. Discover now