22

450 152 16
                                    

TERNYATA cukup lawak juga hidup Arun ini

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

TERNYATA cukup lawak juga hidup Arun ini. Sudah jadi kurir buket bunga, patah hati, dan kini pulang menenteng motor karena Rani tak percaya dia mampu mengendarainya. Diawasi Haris pula. Anak itu pulang dengan hidung mengembang usai memenangkan Guitar Hero live action dadakan. Namun, dia tetap mendoakan Arun agar lekas melupakan Jia dan melanjutkan hari-harinya.

Seumur-umur, Arun baru dapat doa semacam itu. Namun, tak munafik—dia membutuhkannya.

Pandangan Arun mengikuti Haris sampai berbelok sebelum dia menoleh ke pagar rumah. Badannya membatu. Mobil Mas Kal terparkir di garasi pukul segini—Mbak Drina! Cepat-cepat dia menuntun masuk motor dan memarkirkannya, menjeblak pintu, meneriakkan 'Mbak!' berulang-ulang. Dicarinya lurus ke ruang keluarga, balik lagi, menuju dapur, hingga kemudian mereka hampir bertabrakan tepat di depan pintu ruang kerja Mbak Drina. Keduanya mengerem dan berteriak.

"ARUN!"

Mbak Drina memandang Arun secemas dia dipandangi sembari meraba-raba kepala-pipi-tangan adiknya itu. Mas Kal buru-buru menyusul dari dapur.

"Ke mana aja kamu?!" pekiknya. "Kenapa nggak bisa dihubungin? Gimana kalau kamu jatuh? Luka? Sakit? Kertas di ruang tamu itu juga apa maksudnya? Pakai ditambah chat nakutin, lagi! Bilangnya mau healing, lah, baik-baik aja, lah, tapi kamu ambil motor Mbak diam-diam padahal Mbak ada di rumah! Gimana nggak panik?"

Arun menilik ponselnya sekilas. Baterainya habis. Pantas saja tak ada balasan dari Mbak Drina meski dia sudah menyiapkan pembelaan. "Maaf, Mbak."

"Kamu bawa motornya sampai mana? Jauh, nggak?" cecar Mbak Drina lagi. "Terus kenapa celananya kotor begini?"

"Cuma sampai ruko di depan, kok. Habis itu ikut motor Haris."

"Yang benar?"

"Serius, Mbak."

"Jangan pernah kayak gitu lagi! Oke? Janji!" Mbak Drina memegang dadanya. "Mbak sampai jantungan takut kamu—amit-amit, ya Tuhan—gimana kalau masuk rumah sakit lagi?"

Mas Kal memegangi lengan Mbak Drina lalu mengusap-usapnya. Setelah menerima ketenangan itu, Mbak Drina mengembuskan napas, meski tangannya masih menangkup di dada. Kepalanya mengangguk-angguk mendengarkan bisikan 'udah, udah nggak apa-apa' dari Mas Kal.

"Tolong kasih tahu Bunda sama Ayah, Arun udah di rumah," pinta Mbak Drina pada Mas Kal. "Makasih udah pulang duluan, ya, Mas. Beneran nggak apa-apa? Nggak bakal dicariin sama yang lain?"

"Aku udah izin bawa kerjaan ke rumah, kok. Mereka tahu ini darurat."

Sekak mat. Arun menatap nanar. Kata-kata Mbak Drina dan Mas Kal begitu menakutkan. Kasih tahu Bunda sama Ayah. Darurat. Sebahaya itukah yang mereka pikirkan? Ketika Ayah, Bunda, dan Mbak Drina mengurusnya pasca-kecelakaan, Arun hanya melihat mereka setelah ketegangan berlalu. Jika dia yang hanya pergi sebentar dengan motor saja dikhawatirkan sebegininya, bagaimana mereka ketika Arun baru saja tiba di IGD? Bagaimana ketika Bunda mengangkat telepon dari polisi, menghubungi Ayah lalu mencari bilik Arun, juga saat Mbak Drina meninggalkan tempat fitting baju pengantin?

MemoriografiWhere stories live. Discover now