Bab 6

63 2 0
                                    

"Izin bertanya."

Seluruh isi kelas menatap lelaki itu. Petrus...

Dia lelaki yang kubicarakan sejak awal. Lelaki yang selalu tidak pernah satu tanggapan denganku. Dia akan selalu memilih kontra apabila aku pihak pro, begitupun sebaliknya. Seperti saat-saat aku akan mempresentasikan materiku, dia akan menjadi orang pertama yang mencari kesalahan ku.

Tapi itulah awal kedekatan kami. Cara klasik tapi mampu membuat ku bertahan dengan perasaan itu.

Pandanganku, tak banyak yang menarik dari dia. Standar umumnya, memang dia adalah lelaki yang nyaris sempurna. Tapi bagiku yang memang sejak awal kurang tertarik dengan urusan perasaan, memiliki standar atau tipe yang berbeda dari kebanyakan remaja perempuan.

Aku memang belum pernah berpacaran, sehingga tipe ideal yang ku tetapkan hanya berdasarkan drama-drama yang kunikmati di saat senggangku.

Sepertinya aku lebih menyukai lelaki dengan rupa yang tidak terlalu tampan, aku menyukai lelaki yang pintar dan bijak, pendiam, dan menyukai novel non-fiksi sepertiku.

Sehingga, Petrus bukan salah satu dari kriteria di atas, yahhh walaupun dia terbilang pintar. Ditambah dengan kepopulerannya, aku tidak cukup tertarik dengan itu semua.

------

"Akhh..." Aku meringis memegangi lengan kiriku. Kulitku sedikit sensitif, bisa dikatakan, saat temanku mencubitku dengan pelan saja, bekasnya akan sulit menghilang berhari-hari.

Lukaku saat ini sepertinya akan lama sembuh, karena lenganku sedikit sobek. Siswi tadi tidak sengaja menabrakku saat dia berlari.

Aku tidak terlalu memperdulikan siapa yang menabrakku, atau meminta pertanggungjawabnnya. Aku lebih peduli dengan lenganku dan rokku yang sudah kotor sekarang. Perlu diketahui juga, aku penggila kebersihan.

Aku berdiri sambil menepuk-nepuk pelan rok ku.

"Tumben main pasir." Suaranya familiar di telingaku. Sangat terbiasa. Selain keempat sahabat perempuan ku dan Joy, aku sangat jarang berkomunikasi dengan siswa lain.

"Hm." Aku berdehem untuk tidak memperpanjang urusan kami.

"Hm,hm.. Pelit amat ngomong. Puasa ngomong mbak?" Tanya Petrus dengan senyum yang mungkin cukup terbilang manis.

Hehhh.. Kok manis.

Mungkin ini pertama kalinya aku memuji senyum laki-laki selain ayah dan keempat kakak lelakiku.

Ya. Aku dikelilingi oleh lelaki di rumah, ada Ayah, Mas Rick, Mas Bara, Mas Raidy, dan Mas Arsen. Aku sendiri adalah anak bungsu dan menjadi boneka kecil mereka setiap saat di rumah.

"Hei." Petrus mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajahku.

Aku tidak terlalu memperdulikannya dan tetap berusaha membersihkan noda debu di rokku yang menurutku terlihat sangat jelas. Setelah dirasa cukup, aku melanjutkan langkahku menuju kelas menghiraukan Petrus.

"Yaollo, aku kek orang bego ya. Susah amat di ajak ngomong,padahal kalau debat presentasi, lancar amat ngomongnya."

Aku tersenyum mendengar perkataan nya tanpa membalikkan badanku. Dia tidak boleh tau aku tersenyum.

Pelukan BulanWhere stories live. Discover now