Bab 11

38 2 0
                                    

Cukup lama aku menatap majalah dinding. Platform manual yang disediakan sekolah sebagai media kreatifitas siswa sekaligus media informasi. Tidak ada media online disediakan sekolah agar suasana sekolah kondusif tanpa smartphone atau perangkat lainnya, kecuali ketika di lab computer.

Ada beberapa orang di sebelahku yang juga sedang membaca informasi terbaru dari bidang kesiswaan sekolah.

"Geser wak, mau liat juga." Lengan kanan ku digeser cukup kasar setelah kedatangan Petrus. Kuperhatikan, sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku.

"Niat Bung? Bagus nih, tanpa ngeluarin uang, bergengsi lagi."

Eh.

Sepertinya aku salah paham dengan insting tajam Petrus selama ini. Atau sebenarnya dia sudah sadar sejak awal aku ada disana?

------

Petrus masih mengekori langkahku sejak dari majalah dinding hingga ke kelas, bahkan ke mejaku yang jarak mejanya cukup jauh dengan mejaku. Sesekali dia menengokiku dengan iseng seperti anak kecil yang meminta jajanan.

Aku mendudukkan diriku tanpa mengganggap presensinya sedikitpun. Lama-lama telingaku bising dengan kebiasaanya yang menyukai ketentraman.

Petrus berjongkok di samping mejaku tanpa berniat duduk di kursi. Dia melihatku dengan tatapan tajam seolah memaksa. "Apa salahnya sih, ikutan?"

"Ngak ada."

"Yauda ayo makanya daftar. Cuman perlu daftar, ujian 2 jam, lolos. Lagian gak mungkin kamu ga lolos kan."

"Yauda, daftar aja." Balasku dengan nada malas. Sungguh, ini tidak penting. Aku harus menyiapkan draft presentasi biologiku nanti.

Petrus tiba-tiba membongkar tasku, mengambil dengan cepat KTP (Kartu Tanda Pelajar) ku, lalu pergi keluar kelas. "Oke Bung. Aku bantu daftarin punyamu juga ya."

Tunggu. Sepertinya dia sedikit salah paham dengan ucapanku. Maksudku dia bisa mendaftar sendiri. Bukan bisa mendaftarkan diriku. Sepertinya aku terlalu membebaskannya selama ini, sehingga semakin semena-mena.

Aku mendengus pelan. Biarkan saja dia. Yang penting Kartu Pelajar ku tidak dia gunakan untuk mengutang di koperasi sekolah. Oh Tuhan, bisa saja bukan.

"Kenapa Bung? Something wrong?" Tanya Joy dengan cemilan ukuran yang cukup besar ditangannya. Dia sempat melihatku mendengus.

Aku menunjukkan wajah malas ku mendengarnya sok berbahasa inggris sambil membalas ucapan Joy, "Petrus, daftarin aku bimbel yang di mading Joy."

Joy mengangkat alisnya pelan, "Kurasa kau tidak perlu mengeluarkan usaha sebanyak itukan untuk dirimu? Aku rasa kau punya cukup uang untuk bimbingan belajar berbayar tanpa harus melalui ujian yang menyulitkanmu, bahkan kurasa kau tidak membutuhkan bimbingan dengan keadaan otakmu saat ini. Rasanya kau lebih cocok membimbing." Joy duduk di kursi depan mejaku menghadapku.

"Kau terlalu banyak bicara. 7 Juta Joy untuk eksklusif seperti yang ditawarkan di mading.

Joy menatap ku kesal, "Hei. Kurasa uang Ayah mu atau Ibu mu bahkan abang-abang mu tidak akan habis dengan membiayai eksklusif mu hingga kau tua."

"Kau sedang menyuruhku belajar di bimbingan belajar hingga tua Joy?"

"Bukan itu maksudku. Hadeh. Aku pergi. Oh ya, teman-teman mu yang empat orang itu juga mendaftar. Bahkan, juara 1 kita juga mendaftar. Aku rasa itu pilihan yang baik untukmu." Ucap Joy sambil melangkah keluar ruangan.

Baiklah. Pilihan yang tidak cukup buruk.

Pelukan BulanWhere stories live. Discover now