Bab 8

44 2 0
                                    

Sejak duduk di bangku sekolah, aku tidak pernah mengotori kartu absensiku. Bahkan Ketika ada acara keluarga sekalipun, aku akan tetap pergi ke sekolah, sehingga izin sakit, izin acara keluarga, tidak pernah aku gunakan.

Aku jarang sekali sakit. Sakit ku biasanya ringan, hanya sekadar flu biasa dan demam. Itupun hanya terjadi beberapa jam. Sebelum jam 5 pagi, tubuhku biasanya akan kembali normal tanpa minum pil.

Aish.

Aku tidak bisa minum pil. Aku akan lebih memilih suntik jarum daripada pil pahit dengan aroma yang cukup membuat isi perutku terkocok.

Aku mengeratkan jaket tipis ku sambil melihat-lihat isi kelas yang tidak ada bedanya dengan pesta. Guru kami sedang rapat. Tentu menjadi sesuatu yang patut dirayakan kelas ini sekalipun dengan sebutan kelas IPA.

Tadi pagi sekitar jam 3, badanku menghangat. Suhuku sekitar 38,6 dejarat saat kuukur sendiri tanpa membangunkan orang rumah. Kukira saat pagi akan menurun, nyatanya kepala ku sekarang ikut-ikutan sakit.

Saat aku mencoba tidur dengan lipatan tanganku di meja, aku merasakan kursi di sebelahku bergerak. Kurasakan tubuhnya mendekat, bau parfumnya selalu menjadi aroma yang nyaman dikenali hidungku sekalipun saat ini hidung ku sumbat.

"Kau tak apa? Badanmu panas." Petrus menyentuh dahiku dari belakang karena posisiku yang membelakangi kursi Cindy seharusnya.

Aku sedikit terkejut dengan apa yang barusan dilakukan Petrus. Karena sebenarnya tak ada yang menyadari aku kurang sehat. Wajahku pucat? Itu pemandangan biasa, karena aku biasanya ke sekolah tanpa riasan dibandingankan dengan murid lainnya di sekolah ini.

Aku menyingkirkan tangan Petrus perlahan dan tetap melanjutkan acara tidur ku tanpa berniat menjawab pertanyaannya barusan.

"Woi. Badanmu bisa meledak kapan saja. Kau ingin kuantarkan ke UKS?"

"Tak perlu. Aku baik-baik saja." Balasku tanpa melihatnya.

Petrus bangkit lalu berjalan ke depan ku. Dia bahkan berjongkok untuk melihat wajahku dengan jelas. " Sungguh, wajahmu saja sudah seperti wayat sekarang. Ayo kuantarkan."

-------

Pada akhirnya aku tetap pergi ke UKS ditemani Petrus. Aku sudah disuntik Sidiadryl injeksi 5 menit yang lalu oleh dokter sekolah dan sekarang aku dianjurkan istirahat di ruang UKS ini sebelum nantinya aku dijemput oleh kakak lelaki ku yang kedua, Mas Bara.

Aku menoleh pelan. "Kau sudah bisa kembali ke kelas. Aku baik-baik saja." Kataku melihat Petrus yang dengan santai duduk di kursi tunggu sebelah kananku.

"Aku akan menunggui mu tidur sejam, lalu mengantarkan mu pulang. Mas Bara ada urusan mendesak, dia menitipkanmu padaku."

Alisku bertaut. Tumben sekali mas-mas ku mempercayaiku pada lelaki selain Joy yang memang sudah sangat akrab dengan seluruh keluargaku.

"Terimakasih."

Ucapan singkatku barusan ternyata berpengaruh banyak bagi Petrus. Seketika ia melihatku dengan senyum, lalu bergerak menggenggam tangan dinginku.

"Dengan senang hati." Katanya membuat hatiku ikut menghangat.

Pelukan BulanWhere stories live. Discover now