Bab 12

40 3 0
                                    

Beberapa hari terakhir, Petrus tidak sedikitpun menggangguku. Cukup aneh namun kubiarkan saja. Mungkin ada sesuatu yang sedang dia fokuskan.

Tak sengaja ketika aku akan keluar kelas, sekilas ku tatap meja Petrus. Kuperhatikan laci dan mejanya yang penuh dengan buku-buku pelajaran.

'Tumben', pikirku.

Ya. Aku tau dia cukup cerdas, tapi dia bukan tipikal orang yang senang membaca kurasa, apalagi semuanya buku pelajaran. Tangan ku mulai gatal ingin mengetahui apa yang membuatnya sibuk akhir-akhir ini ditambah dengan pemandangan buku-buku yang sangat jarang di mejanya.

'Prediksi soal-soal SBMPTN, Buku Ensiklopedia Fisika, Kumpulan Soal SBMPTN, Pedoman Kimia Singkat' Kubaca perlahan judul-judul buku dan kertas yang ada di atas mejanya.

Tunggu. Apakah dia sedang berusaha keras lolos dalam beasiswa bimbingan eksklusif tempo lalu?

Aku sedikit tersenyum. Sepertinya dia benar-benar tertarik dengan tawaran yang disponsori alumni-alumni terbaik sekolah ini.

*****

Aku duduk di tempat penonton lapangan futsal. Bangku penonton cukup sepi, wajar saja. Tidak ada pertandingan atau liga sekolah. Anak-anak futsal hari ini hanya berlatih dan beberapa penonton yang sedang duduk adalah teman mereka atau sedang tidak ada kegiatan. Seperti diriku. Perpustakaan sudah tutup sejak istirahat yang kedua.

Jujur, aku tak terlalu memperhatikan pertandingan. Oh ayolah, bagiku itu membosankan. Namun suara bola dan decitan sepatu membuat pikiranku cukup tenang sehingga seringkali aku kesini hanya untuk mendengarkan suara bola dan decitan sepatu mereka tanpa berniat menonton atau mendukung siapapun.

Aku termenung sejenak, kuperhatikan semua anggota futsal yang berlatih hari ini, cukup ramai. Mungkin karena liga sekolah yang akan semakin dekat.

Aku menoleh setelah merasakan kehadiran Petrus yang tiba-tiba sudah disampingku. Sepertinya memang sudah kebiasaannya datang tiba-tiba. Kuperhatikan bajunya yang basah dengan keringat, aroma parfumnya semakin kuat, rambutnya acak-acak basah.

Dengan refleks tangan kanan ku membenarkan anak rambut nya yang berantakan. "Rambutmu bahkan sangat berantakan, apa menurutmu bermain futsal tidak terlalu merugikanmu?" Ucapku dengan tangan yang tanpa sadar membenarkan rambut Petrus.

Petrus terdiam dengan mata yang hampir tidak berkedip memandangiku tanpa henti membuatku sedikit salah tingkah. Hei, siapa yang tidak salah tingkah dengan tatapannya yang hampir 3 menit bertahan.

Aku mendorong pelan wajah Petrus agar berpaling dari wajahku. Aku tidak mau ada lagi siswa yang melihat hal ini dan membesar-besarkannya.

"Jangan menatapku seperti itu." Kataku kembali memandang pertandingan futsal.

Petrus masih terdiam. Apa tindakan ku tadi terlalu lancang? Maksudku, aku hanya refleks melakukannya sama seperti saat mas-mas ku di rumah siap berolahraga.

Aku memandang Petrus perlahan, "Kau tidak latihan lagi?" Ucapku masih berusaha mencairkan suasana.

Petrus sedikit tersentak kemudian membalas ucapanku dengan senyum manisnya, "Ah ya, kurasa aku perlu banyak latihan setiap hari untuk memberantakkan rambutku. Kau akan merapikannya bukan? Baiklah, aku latihan dulu,dahhh."

Dia setengah berlari menuju tengah lapangan, kadang-kadang melirikku ke belakang dengan lambaian tangan. Aku berusaha membuat wajahku tanpa ekspresi, beranggapan seolah-olah lambaiannya bukan untukku.

Pelukan BulanWhere stories live. Discover now