VII •Khawatir•

5.2K 367 13
                                    

“Tak ada yang lebih menyakitkan dari, di tuduh sebagai pembunuh dan di benci oleh keluarga sendiri.”

—Regi Sabiru

     "Den kasep mau nambah lauknya?" tanya Bi Arsih yang datang menghampirinya dengan sepiring ayam goreng

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

     "Den kasep mau nambah lauknya?" tanya Bi Arsih yang datang menghampirinya dengan sepiring ayam goreng.

     Regi tersenyum manis sembari berkata, "Ngak, Bi, Regi udah kenyang. Itu Bibi aja yang makan. Bibi belum makan, kan?"

     "Atuh kenapa bisa kenyang? Aden dari kemarin malem ngak makan. Kalau Bibi, mah, gampang, Den,"

     Bi Arsih menyangkal perkataan Regi. Karena memang benar adanya, jika Anak majikannya itu sama sekali tidak menyentuh makanan sesaat setelah pertengkaran hebat yang kembali terjadi semalam.

     Dan itu membuat Bi Arsih sendiri prihatin.

     Ia tak tega melihat Anak itu yang kerap menjadi sasaran amarah oleh majikannya—Ayah kandungnya sendiri. Sudah bertahun-tahun Bi Arsih tinggal dengan mereka, tetapi nasib Anak itu selalu malang.

     Regi memasukkan suapan terakhir nasi dan ayam ke dalam mulutnya, kembali menatap Bi Arsih dengan senyuman. "Semalem Regi makan di rumah temen, Bi. Jadi Regi kenyang karena di sana makan banyak," jawabnya.

     Bi Arsih menaruh ayam yang tadi sempat ia bawa di atas meja, setelahnya ia meraih tangan yang dulunya masih begitu kecil di genggamannya, kini tak sadar tangan itu sudah begitu kuat dan berotot.

     Satu tetes air mata jatuh membasahi pipi Bi Arsih. Ia teringat kembali dimana dulu ia sering menggendong Regi, menidurkan Regi.

     Hingga hembusan terakhir majikannya pun ia mendapatkan pesan singkat 'tolong jagain Anak-anak saya' itulah pesan terakhir beliau.

     "Bibi kenapa nangis?" tanya Regi dengan tangan yang masih berada di genggaman wanita itu.

     Sontak Bi Arsih merengkuh tubuh Regi, membawanya ke dalam pelukan. Sungguh, ia tak tega melihat Regi yang selalu di siksa batin dan fisiknya. Karena ia sudah menganggap Regi Anaknya sendiri.

     "Yang sabar, ya, Den... Allah tidak pernah memberikan ujian di luar kemampuan hambanya. Bibi yakin, kalau Den Regi bisa melalui ini semua. Banyak ibadah, banyak doa' in Ibu dan semua keluarga ini. Insyallah nanti akan dimudahkan hidupnya," ungkap Bi Arsih yang masih menangis dalam diam.

     Regi terenyuh, ia membalas pelukan Bi Arsih—wanita yang memang dari dulu paling dekat dengannya. Wanita yang juga sudah ia anggap sebagai Ibunya sendiri.

Another Pain [END] ✔Where stories live. Discover now