XXVIII •Ketulusan hati•

2.9K 234 26
                                    

↺ Playing song : Yang Yoseob - couldn't cry because i'm a man ↺

HAPPY READING

“Rasanya seperti kehilangan oksigen untuk bernapas. Begitulah hidup yang aku jalani.”

—Regi Sabiru

     "Saya mau kamu donorkan ginjal kamu sama Reyga

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


     "Saya mau kamu donorkan ginjal kamu sama Reyga."

     "Kalau kamu mau mendonorkan ginjal kamu sama Reyga, kamu boleh pulang ke rumah dan apapun yang kamu mau... Saya akan berikan."

     Pembicarannya dengan sang Ayah masih terngiang-ngiang di kepala Regi, bahkan hingga membuat kakinya bergetar—hampir saja terjatuh jika ia tak mampu menyeimbangkan tubuhnya sendiri.

     Regi berjalan sedikit terseok, pandangannya pun juga sedikit buram. Syukurnya, ia masih mampu melihat sekitar meski tak begitu jelas.

     Hingga ia sadar jika di ujung sana—di tapi jalan ada sosok laki-laki yang menyandarkan punggungnya di sisi kap mobil sembari bersedekap dada. Tatapannya yang datar terkesan jika laki-laki itu begitu dingin.

     Bang Alan.

     "Bisa gak lo sehari aja gak nyusahin orang?" tukas Alan dengan wajah datar seakan acuh akan kondisi lawan bicaranya saat ini.

     Regi berusaha mendekat, lalu ia tersenyum getir. Kakinya sudah tak mampu lagi menopang berat tubuhnya.

     Di tatapnya sendu sang Kakak lalu berkata lirih, "Maaf abang, maaf."

     Bruk

     Tepat saat Regi berbicara beberapa patah kata mata itu tertutup rapat dan berakhir jatuh ke dalam pelukan Alan. Alan sedikit tertegun, ini pertama kali setelah sekian lama ia tak memeluk sang adik. Tubuh itu hangat—begitu hangat, Alan bisa merasakannya.

     "Bandel," cicitnya lirih saat mengetahui jika Regi pingsan.

     Setelahnya Alan menuntun Regi—membawa adiknya ke dalam mobil menaruh tubuh sang Adik se-pelan mungkin lalu kakinya segera bergerak menuju kursi kemudi.

      Sebelum melajukan mobilnya, sekali lagi Alan memperhatikan wajah sang adik yang selama ini tak ia tatap. Seakan begitu rindu akan sosok itu, sosok yang selalu ia abaikan, ia acuhkan—kini berhasil ia tatap sedikit lama dengan rautnya yang begitu pucat.

Another Pain [END] ✔Where stories live. Discover now