3. Mimpi Lain

11.8K 2.2K 305
                                    

Lagi hehe

🐳🐳

Beberapa kali Gagah memandangi ponsel yang belum ada tanda-tanda panggilannya dijawab. Setahunya, jam segini biasanya Gadis lagi di jam istirahat. Tadi juga mereka sempat berkirim pesan, tapi saat mau pulang begini pesannya malah tidak juga dibalas.

Gagah memasuki lift dan kembali melakukan panggilan. Syukurlah ada jawaban kali ini. "Masih istirahat, Dis?"

"Iya, Kak."

"Shift siang kayak biasa kan? Ntar malem aku jemput."

Tidak ada jawaban meski masih tersambung. Gagah mengernyit saat panggilan itu diputus sepihak. Aneh, baru kali ini Gadis mematikan sambungan tiba-tiba begitu. Lebih baik Gagah susul ke tempat kerjanya saja, sekalian bawain makanan.

Gagah sudah sampai di basement dan menaiki mobil. Ia mampir sebentar ke sebuah restoran cepat saji sebelum mengarahkan mobilnya ke toko ikan punya Bagus. Sesampai di sana, seperti biasa pasti disambut oleh salah satu karyawan.

"Bisa tolong panggilin Gadis sebentar? Lagi istirahat kan dia?" tanya Gagah tanpa basa-basi.

"Gadis ya? Hari ini nggak masuk."

Gagah mengernyit. "Nggak masuk?"

"Iya. Kayaknya denger-denger tadi izin."

Izin kenapa lagi itu anak? Astaga, perasaan mereka berkirim pesan lumayan intens, tapi perempuan itu tidak mengatakan apa pun. Pantas tidak menjawab saat ditanyai masuk jam berapa.

"Eh, Gadis izin kan ya tadi?" Perempuan itu bertanya pada temannya yang lewat.

"Iya, nggak enak badan katanya. Kecapekan mungkin. Terlalu rajin anaknya. Nanti malem kita jenguk yuk."

"Apa? Sakit?" Gagah menginterupsi.

"Iya." Karyawan itu mengangguk.

"Oke, makasih." Gagah segera berbalik dan memasuki mobil.

Kebiasaan. Dua minggu mengenal Gadis, Gagah cukup tahu kalau Gadis memang pendiam parah. Tidak bisa jujur dengan permasalahan dirinya sendiri. Padahal kan di kota ini sendirian, gimana bisa menyembunyikan apa-apa sendiri begitu?

Bukan turun di depan kos Gadis—ia memang akhir-akhir ini mengantar sampai sana setelah dulu di awal-awal membiarkan Gadis naik ojol walau ia membuntuti di belakang—tapi turun di seberangnya.

"Bapak kosnya rumahnya yang itu depan. Nggak jadi satu."

Gagah melihat seorang pria paruh baya sedang mencuci motor di pelataran. "Permisi, Pak."

Pria itu menoleh dan tersenyum ramah. "Oh, iya. Cari siapa, Mas?"

Gagah tersenyum sopan. "Saya temannya Gadis. Dia lagi sakit, Pak. Apa boleh saya jenguk? Kayaknya dia sendirian."

"Gadis sakit?" Pria itu mengernyit, tapi lalu menghampiri Gagah. "Iya, ayo. Nggak apa-apa masuk saja. Saya antar."

Gagah tahu banget kos itu bukan kos bebas. Ada banyak privasi di sana jadi ia tidak mau menyalahi aturan. Hanya saja keadaan Gadis yang sendirian membuatnya khawatir. Sudah bertahun-tahun perempuan itu hidup tanpa siapa-siapa di sini. Hal yang membuatnya waswas kalau keadaannya jadi begini.

"Kamarnya yang ini," tunjuk pria itu di depan sebuah kamar.

Gagah mengangguk. Sudah melewati dari pintu masuk sampai ke dalam, ia sadar kalau kos itu sangat sederhana. Banyak barang-barang di sepanjang lorong yang membuat akses jalan jadi sempit. Tapi ia cukup kagum karena hanya depan kamar Gadis yang terlihat sangat rapi. Hanya ada rak sepatu saja.

Fishing YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang