16. Di sana?

10.3K 1.9K 349
                                    

Nulis ginian agak² gimana gitu awokwok.

🐳🐳


Gagah merasakan silau menusuk matanya. Ia mengerjap beberapa saat dan pemandangan pertama adalah tirai jendela yang terbuka lebar hingga sinar matahari pagi menembus kaca. Ia meringis pelan merasakan matanya begitu berat untuk terbuka, belum lagi tubuhnya yang terasa lelah.

Tapi pemandangan seorang perempuan yang duduk di depan kaca dan menyesap minuman dari cangkir membuat kedua mata Gagah dipaksakan memang harus membuka. Sava membelakanginya di sana, mungkin tidak menyadari kalau ia sudah bangun.

Gagah mengusap matanya dan memijit pelipis dengan pelan, menyesuaikan kembali berkas menyilaukan. Setelahnya ia bangkit duduk. Mungkin suara yang dihasilkan terdengar Sava hingga perempuan itu menoleh.

"Udah bangun." Itu hanya gumaman Sava, hanya untuk memastikan.

Ini bukan mimpi kan? Gagah harus memastikannya. Meski rasa tidak nyaman semalam masih tersisa tapi tidak separah pagi ini. Melihat Sava tidak kabur setelah pernikahan dan ada di sana saja membuatnya cukup bahagia.

Langkah Gagah menghampiri Sava dan duduk di lantai, tepat di depan Sava yang menunduk menatapnya karena posisi perempuan itu di atas kursi.

"Kok ngopi?" tanya Gagah sambil mengernyit. "Aku minta."

Sava menyerahkan cangkir itu tanpa pikir panjang.

Gagah sigap menerima cangkir. Ia mendekatkan tubuhnya agar kedua sikunya bisa bertumpu di paha Sava. Ia mengangkat cangkir sampai bibir dan merasakan tangan Sava mengusap kepalanya. Hal yang sontak membuatnya mendongak. "Pagi-pagi liat bidadari." Diakhiri dengan cengiran.

Sava hanya tersenyum, jemarinya mengusap bibir atas Gagah yang ada bekas kopinya. "Pagi-pagi lihat Gagah."

Gagah berdecak. "Kurang mempan gombalannya, Sav. Aku kan emang Gagah, harusnya diganti pagi-pagi lihat suami ganteng. Gitu. Kalo pagi-pagi lihat Gagah mah siapa aja juga tau."

Sava melarikan jemarinya ke rambut Gagah yang berantakan. Wajah lelaki itu terlihat lesu. Kedua matanya sedikit bengkak. "Kamu kayak abis nangis, Gah."

Gagah mengernyit. "Nangis? Astaga, Sav. Nggak lah. Bare face-ku emang gini." Ia langsung menyandarkan pipinya di kedua lutut Sava, memeluk kedua kaki itu erat mirip anak kecil yang bergelendotan ke mamanya.

"Sarapannya mau turun atau diantar ke sini?" tanya Sava. Ia meraih gelas di tangan Gagah dan meletakkannya di meja karena sudah kosong. Ia tahu Gagah berusaha membuatnya mengurangi konsumsi kopi, dan ia merasa tidak apa-apa dengan itu karena Gagah selalu melibatkan dirinya dalam prosesnya menuju lebih baik.

"Sini aja. Males turun, Sav. Abis ini kita checkout langsung ke rumah Papa Aji terus ke apartemen, Boja yang nyetir kan?"

"Iya, aku udah hubungi dia."

Gagah mendongak lagi dan tersenyum. Ia kecupi lutut Sava yang tidak tertutup kain karena memakai celana pendek selutut yang kini lebih terangkat. "Kapan ya cium yang atas?" tanyanya seolah berpikir.

"Sekarang?" Sava balik bertanya.

Gagah tertawa. Sava itu, selalu menggodanya dengan muka tanpa ekspresi yang membuatnya gemas setengah mati. Ia akhirnya berdiri dan memberi kecupan di pipi Sava. "Aku mandi dulu."

"Iya. Aku pesan makan."

Gagah mengangguk menyetujui. Ia berjalan menuju kamar mandi. Sekilas ia berhenti di wastafel dengan cermin di depannya. Ia berharap kekurangannya tidak banyak dari dirinya. Ia berharap apa yang ia punya dan beri membuat Sava merasa cukup hingga bisa memenuhi hati Sava sepenuh-penuhnya.

Fishing Youحيث تعيش القصص. اكتشف الآن