14. Can't Wait

8.5K 1.9K 250
                                    

Pendek duluuu mwehehe.

🐳🐳

Alsava Lyoriza.

Gagah merapal nama itu terus menerus. Kenapa namanya harus susah begitu ya? Takut Gagah keselip lidah nanti waktu ijab kabul kan tidak lucu. Mana dia baru tahu nama lengkap Sava belum lama ini waktu urus pendaftaran nikah. Jadi belum fasih ngomongnya.

"Pokoknya besok namain anak nggak perlu susah-susah," gumamnya gugup. Ia menatap cermin. Sebentar lagi ia masuk ruang make up. Dan sejak itu hingga ke depannya, ia akan jadi suami. "Namain aja Channa, Louhan, Arwana, atau hiu. Cukup satu kata nggak usah panjang-panjang."

"Baaaaang!"

Suara teriakan bersamaan dengan pintu terbuka membuat Gagah menoleh ke pintu. Adiknya berlari ke arahnya dan memeluk erat. "Tumben nyariin gue," gerutu Gagah.

"Lo nikah ya." Suara Anin tidak terlalu jelas karena pelukannya terlampau erat. "Kok nikah?"

"Kemarin jomlo bertahun-tahun diejek, sekarang mau nikah malah diginiin. Dasar lo, Nin."

"Entar nggak tinggal bareng lagi dong."

"Lo tahu, Nin, gue udah ambil unit apartemen deket kantornya Sava. Lo boleh ke sana kapan aja."

"Tetep beda dong, Bang."

Gagah melepas pelukan Anin dan menatap adiknya dengan senyum geli. "Bukannya lo seneng nggak ada gue di rumah? Nggak ada yang ngajak berantem."

"Kata siapa." Anin memberengut. "Dari lahir gue selalu lihat lo. Waktu lo kuliah di Bandung 4 tahun gue kesepian banget, Bang. Terus 5 tahun lalu lo balik ke sini. Nggak kerasa udah mau nikah sih Abang gue paling ganteng."

"Iyalah paling ganteng. Abang lo cuma satu." Gagah terkekeh, tidak berniat membuat kondisi hati Anin lebih buruk dari ini karena ia tahu kedua mata Anin sudah berkaca. "Lo nangisnya harusnya jauh-jauh hari, Nin. Bukan sekarang."

Turunlah air mata Anin kali ini. Ia kembali memeluk Gagah erat. "Gue sayang abang gue. Banget. Gue juga ikut seneng karena lo udah nemuin orang itu. Akhirnya lo bisa ketemu sama perempuan yang nggak anggap gue musuh, Bang. Sebelum ini kan gue berasa dicap penghalang sama mereka-mereka."

"Lo tau Sava nggak kayak gitu."

Anin mengangguk, makin kencang tangisnya. "Kak Sava baik. Gue udah tau dari waktu dia jenguk gue di rumah sakit. Tumben pacar lo bener, Bang."

"Abang sendiri dikatain." Gagah mengusap kepala adiknya dengan sayang. "Kalo ada apa-apa, lo disakitin siapa pun, bilang ke gue. Gue masih tetap jadi orang pertama yang maju kalo adek gue disakitin."

"Iya, Bang. Dari dulu lo selalu jagain gue. Maaf ya, Bang. Gue banyak banget salah, sering nggak nurut. Sering bikin lo kesel."

"Nggak nggak." Gagah menggeleng dengan ucapan itu. Ia melepas pelukan dan menyeka air mata di pipi Anin. "Lo adek yang baik banget. Lo selalu mau nurutin nasihat gue. Lo nggak suka ngelawan kalo gue omongin baik-baik. Lo adek paling manis yang gue tau."

Tangis Anin malah meledak lagi. "Ternyata gini rasanya ditinggal nikah sama Abang sendiri, lebih sedih daripada ditinggal nikah pacar kayaknya."

Gagah mengecup kepala Anin dengan sayang. Ia usap punggung adiknya sembari memeluknya. "Gue baru cari pasangan waktu udah mastiin lo nemuin orang yang tepat dulu, Nin. Karena gue nggak mau salah restuin laki-laki yang deketin lo. Kalo lo disakitin, sama aja gue yang salah karena gue juga andil ngasih izin sama dia. Sekarang lo udah bahagia sama Bagus kan, bukan berarti tugas gue udah selesai. Gue tetep jadi Abang lo yang kapan pun lihat lo sakit, gue bakal nemuin pelakunya."

Fishing YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang