22. Nggak Ada Obatnya

8.6K 1.7K 363
                                    

Kembali lagi bersama🐖

🐳🐳

"Kenapa harus ada selimut, Sav," gumam Gagah saat melihat istrinya memasukkan selimut ke koper.

"Biar kamu pake selimut."

"Di hotel udah ada selimut."

Sava berdiri setelah selesai menutup koper. "Pake ini aja jangan yang di hotel."

Gagah garuk-garuk kepala karena bingung. "Bedanya apa?"

"Ini udah aku kasih parfum."

"Terus?"

"Biar kamu inget aku," jelas Sava sebal. Bibirnya kini mengerucut sebal.

Gagah mendekat dan memeluk Sava erat. "Nggak pake selimut itu juga aku tetep inget kamu di mana pun, Sava."

Sava menggeleng. "Nanti sekamarnya sama siapa?"

"Sendirian," jelas Gagah pelan. Entah kenapa ia suka kalau Sava lagi menginterogasinya seperti ini. Apalagi bibirnya yang mencebik sebal itu. Rasanya ia ingin menunda pergi dan mengurung Sava untuk beberapa hari ke depan.

"Nggak ada cewek yang masuk?" tanya Sava sambil mendongak.

"Nggak, Sav. Aku kan berangkat cuma sama sopir kantor."

"Emang nggak ada cewek lain yang ikut?"

"Dari sana nggak tau. Tapi ini cuma jamuan acara biasa buat pertemuan terakhir. Nggak ada yang penting-penting banget. Nggak sampe seminggu juga udah pulang."

"Tapi lama, Gah." Sava membalas pelukan.

Gagah menahan senyumnya. Kayaknya kemarin Sava terlihat santai banget menanggapi kalau ia mau pergi. Kenapa sekarang waktu mau ditinggal malah jadi manja begini?

"Iya. Nanti aku sering-sering telepon kamu."

Sava mengangguk setuju. "Kalo aku nggak jawab berarti lagi ada kelas. Jangan marah ya."

Ucapan itu terdengar sebuah ketakutan. Gagah jadi berpikir, apa setakut itu Sava melihatnya marah? Padahal selama ini tidak ada perlakuan Sava yang bisa menyulut amarahnya dengan parah.

"Aku nggak marah. Kan kamu lagi kerja," jawab Gagah.

Sava mendongak dan menatap kedua mata Gagah dengan intens. Ada perasaan haru sekaligus sesak kalau harus berjauhan dengan Gagah, mengingat selama ini mereka belum pernah berjauhan lama-lama. Ia pernah melewati hubungan jarak jauh bertahun-tahun dan penuh dengan makian.

Namun Sava harus bersyukur karena hubungan jarak jauh sebelumnya membuat ia tidak perlu takut menghadapi kemarahan Jev secara langsung karena hubungan tatap mata mereka justru membuat Sava tidak pernah nyaman.

Tapi memikirkan akan berjauhan dengan Gagah walau beberapa hari justru membuatnya tidak tenang. Karena ia sudah teramat nyaman dengan kebersamaan mereka sejauh ini. Ya Tuhan, ia berharap bahwa hatinya memang sudah tertuju pada lelaki di depannya ini.

"Sopir udah di depan, aku berangkat dulu."

Sava sudah mengangguk, namun pelukan mereka belum terurai. Seperti ada yang kurang. Dan dalam beberapa detik Sava memejamkan mata merasakan bibir mereka bersentuhan. Ia membalas tiap kecupan yang Gagah beri hingga tubuh mereka kian merapat untuk saling berpagutan bibir.

Tubuh Sava terasa melemas makin dalam ciuman-ciuman yang saling mereka beri. Ini juga terasa berbeda bagi Sava. Ada di pelukan Gagah dengan ciuman selembut itu membuatnya merasa jadi wanita paling beruntung. Cara Gagah menyayangi dan memperlakukannya menerbitkan perasaan haru tiba-tiba.

Fishing YouWhere stories live. Discover now