11. Pake Apa?

9.7K 2.1K 256
                                    

Pake apa tu?

🐳🐳

Gagah melepas kemejanya setelah memastikan Sava masuk ke kamar pribadi. Ia mengganti dengan kaus sebelum duduk di sofa ruangan Sava. Benar-benar malam reuni yang sama sekali tidak membahagiakan baginya.

Sepanjang acara, Gagah justru tidak berhenti memikirkan kalimat yang didengar dari—mungkin—mantannya Sava. Bukan tentang bagaimana hubungan masa lalu keduanya, tapi rasa sakit di hati Gagah saat mendengar Sava dijelekkan begitu.

Gagah mengenal Sava memang tidak cukup lama. Inisiatifnya untuk menjalin hubungan bukan sekadar tertarik saja, namun lebih dari itu. Gagah tidak pernah mendekati perempuan jika gagal membuatnya nyaman.

Menghela napas sedikit kasar, Gagah lalu meraup wajahnya. Ia bersandar dan wajahnya mendongak ke atap. Sedari tadi ia bahkan tidak sadar apakah benar ini dirinya sendiri. Ia tidak ingat apa-apa saja rangkain reuni, atau bagaimana malam tadi mereka lalui. Tidak ada hal lain di pikirannya selain kalimat tidak mengenakkan tentang Sava.

Suara pintu terbuka tidak lantas membuat Gagah menoleh. Ia cukup lelah malam ini, meski tidak ada satu hal pun yang ia ingat alasan tubuhnya terasa penat.

"Marah?"

Pertanyaan itu membuat Gagah menegakkan tubuh dan menatap Sava yang berjalan menghampirinya. "Siapa?"

Sava menjawab dengan mengedikkan bahu, seolah pertanyaan Gagah terdengar tidak masuk akal karena jawabannya bahkan sudah sangat jelas.

"Siapa yang marah." Gagah mendengus geli, lalu ikut berdiri saat Sava melangkah ke arah kulkas. "Kalo marah kan nadanya tinggi, atau ngambek, atau—"

"Diem aja juga termasuk marah kan?" Sava menaikkan alis, lalu membuka kulkas dan mengeluarkan air mineral dingin dari sana. Ia menyerahkan ke Gagah. "Mungkin butuh ini."

Gagah terkekeh. Ia menerima sebotol air dari Sava dan meneguknya. Kayaknya ia beneran haus banget. "Emang tau kalo aku marah gimana?" tanyanya.

"Kayak tadi." Sava ikut meminum air mineral saat Gagah menyerahkan separuhnya. "Mungkin."

"Aku kalo lagi kerja, kecapekan, bingung, sedih, apalagi tidur, pasti diem."

"Jadi tadi lo lagi tidur? Nggak kan?" tanya Sava sambil geleng-geleng kepala. "Lagi kerja juga nggak. Kalo kecapekan nggak mungkin mau dateng reuni. Kalo bingung dan sedih juga alasannya apa karena kita berangkat tadi juga lo masih cerewet. Jadi lo pasti marah."

Gagah tertawa. Sava bisa cerewet juga kalau lagi jadi cewek banget yang merinci segala hal dengan detail. Memang ya pemikiran cewek bisa mengurai hal-hal paling kecil hampir tidak masuk akal tetapi selalu benar. Gagah heran sendiri.

"Marah nggak ada di pilihan padahal." Gagah memandang Sava yang berjalan ke stool dan duduk di sana. Perempuan itu membelakanginya.

Baru juga Gagah akan menyusul, pandangannya tertuju ke sesuatu di samping kulkas. Ada tirai kecil di lemari dapur yang tidak tertutup seluruhnya membuatnya tahu persis itu apa. Sedikit mendekat, ia ingin memastikan. Bukan berniat lancang karena ia bahkan tidak menyentuh tirai untuk membuka, hanya memperjelas apa yang ia lihat.

Dan memang ia tahu benda itu dengan persis. Tidak berhentinya rasa sakit yang ia dera tadi, kini detakan jantungnya bahkan berkali lebih menyakiti. Kenyataan yang membuatnya harus meringis kecil saat tahu bahwa perempuan itu berhasil membuatnya sampai sesakit ini.

"Sav," gumam Gagah. Ia tidak berniat menolehkan pandangan terlebih dulu dari lemari, agar Sava yang menoleh padanya dan menyadari bahwa Gagah sudah tahu.

Fishing YouWhere stories live. Discover now