10. Collecting

64 17 2
                                    

Desa itu jauh lebih damai dari yang aku perkirakan.

Yah, aku kan jujur saja. Aku mengira akan langsung melihat tentara atau orang yang mengenali kami dan aku serta Eka harus tunggang langgan berlari demi menghindari penghakiman yang mungkin akan salah sasaran.

Yah, sebenarnya hanya aku yang harus lari.

Aku tidak perlu mengikut sertakan Eka.

Langkahku terhenti di tengah jalan. Aku dan Eka sudah berpisah sejak beberapa menit lalu dan berjanji akan bertemu di tempat kami masuk tadi. Kami sudah berjanji begitu dan sekarang aku ada di jalan utama desa sementara Eka entah ada di mana.

Aku menyaksikan pembangunan di kanan-kiri. Rumah-rumah yang dibangun kembali, kebutuhan pokok yang mulai tersedia, dan kendaraan-kendaraan yang mulai kembali bisa beroperasi dan berjalan.

Aku jelas bukan bagian dari semua denyut kehidupan ini. Aku ada di luar lingkaran. Tapi Eka berbeda. Eka ada di dalam semua ini. Haruskah aku menyerah pada keinginanku dan membiarkan Eka hidup bebas dan mungkin ... bertemu kembali dengan Gilang.

Aku yakin Gilang pun ingin bertemu dengannya kan?

Jika aku tidak membebaninya dengan keinginan egoisku untuk mati, jika aku hidup sendirian lagi dan berharap ada yang membunuhku ... mungkin saja....

Mendadak jalanan desa menjadi terasa sangat luas.

Ah, mungkin menyetujui ini memang hal bagus.

Mungkin ini memang sudah saatnya aku melepaskan Eka. Toh, tidak ada bukti kekhawatiranku jadi nyata, kan?

"Non!" Seseorang memanggil dan aku menoleh. Seorang perempuan berdiri di dekatku. Perempuan paruh baya dengan sebelah tangan yang telah hilang. Aku berhenti mengamati tangannya dan menatap kembali ke wajahnya. Senyumnya tidak menghilang sama sekali. Seolah tidak sadar aku baru saja memandang ke arah yang tidak sepatutnya. "Lagi cari apa? Saya mungkin punya sesuatu yang bisa Neng beli!"

"Ah, saya Cuma lagi lihat-lihat, Tante," jawabku sopan, menghadapnya. Kemudian aku teringat. "Saya cari baju sih sebenernya."

"Oh, baju, ada, ada! Mari!" Wanita itu mengayunkan tangannya yang sehat dan mengajakku mendekat ke tokonya yang memang terbuka. Ada banyak lipatan pakaian bertumpuk di sana. "Sini, sini! Ini memang bukan barang baru dan bermerek, tapi bagus kok kalau dipakai!"

Aku melangkah mendekat, menuruti permintaan wanita paruh baya itu, melihat-lihat baju dan kausnya yang memang seukuran dengan tubuhku.

"Non ini badannya bagus! Semua baju ini pasti pas deh!" Wanita itu meyakinkan, menarik satu buah kaus lengan pendek kepadaku. "Nih, yang ini bagus, Non! Baru datang dari Bandung tadi"

Bandung? Aku langsung menoleh ke belakang, menyadari ada satu hal yang mengganjalku sedari tadi.

Tempat ini sama sekali tidak ada pembatasanya. Tidak ada perak atau hematit yang melindungi tempat ini.

Aku membaui udara sekali lagi dan tidak mencium aroma aruna dalam jarak dekat. Tidak ada aroma darah juga yang tercium. Apa mungkin tidak ada penyerangan?

Tapi apa manusia-manusia ini tidak takut?

"Non?" Wanita itu memanggilku lagi. "Ada apa?"

Aku berbalik kepadanya dan bicara lagi. "Ah, nggak, di sini Cuma ramai banget ya. Saya nggak nyangka ada tempat begini di sini."

"Oh, ini juga baru aja ramai, Non!" Wanita itu memberitahuku. "Ada yang hidup di sini setelah semua ... itu ..." Wanita itu sedikit menjeda kata-katanya ketika membahas tragedy yang melanda negara ini. "Dan mereka semua gotong royong bangun tempat ini lagi dari nol."

Wanita ini menceritakan tanpa aku minta. Ah, benar juga. Mencari informasi sebanyak-banyaknya. Mumpung aku sudah terpisah dari peradaban selama satu tahun lebih, tidak ada salahnya aku mulai mencari informasi. Dimulai dari tempat ini.

"Tadinya ini desa?" tanyaku balik.

"Desa gede, Non!" Wanita itu menyahut dengan semangat. "Ramai banget! Ada pagar pembatasnya lagi, soalnya masih dalam wilayah basis Cirebon!"

Ah, kami ada di Cirebon, ya? Ugh ... apa Eka tahu aku sering ngawur dan ngasal setiap kali berpindah tempat? Semoga tidak. Dia akan tahu betapa aku orang yang tidak punya tujuan jika sampai itu terjadi! Tapi kalau dia sada,r maafkan aku, Eka!

"Oh, ya? Di sini ada pembatasnya?" Aku berlagak tenang dan melihat sekeliling. "Tapi sekarang nggak ada pembatasnya...."

Kata-kataku terhenti ketika satu Aruna berjalan melintas di luar toko. Aku buru-buru mengalihkan pandang ke arah lain. Berharap kami tidak sempat bertukar pandang tadi. Atau setidaknya ia tidak tahu siapa aku.

"Ya sekarang nggak ada, Non." Wanita itu mengakui dan melongok ke luar tokonya. "Nggak kerasa kalau ternyata dunia seluas ini."

Dunia luas ... ya? Yah, dia tidak salah. Dunia ini memang luas. Tapi isinya tidak banyak berbeda dari jaman ke jaman.

"Emangnya nggak takut, ya, Tante?' pancingku. "Kalau saya, sih, was was di sini."

"Oh, Non, nggak mau tinggal lama, ya?" Aku mengangguk. "Ya, wajar, sih, tapi katanya, emang lagi banyak kota dan desa kayak gini, Non. Nggak punya pembatas lagi. Lagi ada program apaa gitu, saya nggak begitu ngeh!"

"Oh, ya? Siapa yang menerapkannya?"

Wanita itu mengedikkan bahu. "Saya denger sih dari pusat, tapi nggak tau juga," ujarnya. "Kita di sini Cuma jalanin kehidupan aja, Non. Nggak mau mikir yang pusing-pusing."

Haruskah aku mengorek informasi lebih dari wanita ini? Tapi memangya dia tahu banyak hal?

Ah, tidak, jika ingin menanyai soal Aruna, aku ahrus mengkontak Aruna juga, kan?

Tapi apa aku siap? Apa risiko yang akan aku tanggung jika sampai aku terlihat oleh satu Aruna yang mengenalku?

Sebaiknya aku mulai berpikir matang-matang soal itu.

"Yah, nggak salah, emang," Aku emraih kaus pink yang diberikan oleh wanita itu. "Yang ini berapa, Tante?"

Aku keluar dari toko setelah membeli satu setel baju itu. Bahkna tidak ada kantung plastik untuk membungkusnya. Aku hanya membawa belanjaan itu dengan tangan kosong. Di jalan, sekali lagi tidak terlihat sosok Eka. Mungkin anak itu sedang ada di tempat lain.

Dengan cepat, aku menoleh ke depan. Ketika aroma itu terbawa angin, ketika suara langkah yang tidak akan mungkin aku lupakan itu dengan cepat muncul di dekatku.

Wajah itu sama kagetnya dneganku. Kedua mata hitamnya perlahan berubah warna menjadi merah seiring dengan emosinya yang bergejolak. Wajahnya mungkin memiliki kembaran, tapi aku tidak akan mungkin salah mengenalinya. Tidak selama dia masih melangkah seperti anak kaku yang baru belajar berjalan begini dan selalu saja datang dengan berisik seperti tadi.

"Kak ... Ratna...." Ghalih bersuara dengan kaku, dua langkah di hadapanku.

Aku membalas kekagetannya dengan senyum tipis. "Lama nggak ketemu, ya, Kak Ghalih."

***

Blood and CurseNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ