9. Healing

59 15 5
                                    

Sampai satu tahun kemudian, hidupku dipenuhi oleh pelarian. Dari satu tempat ke tempat lain. Para Aruna dan Manusia berseragam terus mengejar. Mereka seperti ada di mana-mana, di desa terpencil di tengah pengunungan sekalipun. Rasanya tidak menyenangkan, tapi aku tidak punya pilihan lain.

Aku menolak untuk tertangkap oleh mereka. Aku tahu apa pun yang mereka punya untukku, tidak akan bisa membuatku senang.

Untungnya, beban yang aku bawa selama ini menunjukkan pergerakan yang semakin bagus dari hari ke hari. Sebulan setelah Tuan Saka menghilang, Eka sudah kembali utuh. Tiga bulan kemudian, Eka mulai bisa berjalan. Enam bulan berlalu, Eka mulai bisa bicara lagi.

Sekarang, setelah genap satu tahun, aku hanya bisa berdoa ketenangan dapat hadir kembali di setiap pagiku yang....

"Oi, Ratna!"

Ya ampun, aku tidak heran kami selalu saja harus lari lebih cepat dari satu tempat ke tempat lain sekarang. Anak itu sama sekali tidak bisa memelankan suaranya.

"Eka, kamu tau aku nggak perlu dipanggil sekeras itu, kan?" Aku menyahut dari dalam pondok kayu tak bertuan yang telah kami tinggali selama satu bulan ini. "Aku dengar kamu dengan jelas kok."

"Kalau lo emang denger, keluar, dong! Jangan di dalem mulu, elah!"

Bagaimana Gilang bisa tahan terikat dengan perempuan itu? Sekarang aku jadi memikirkannya dan kasihan padanya.

Aku segera mengakhiri kegiatanku melipat baju dan segera keluar menyusul Eka sebelum keributannya memancing orang-orang.

Di luar pintu kayu tempatta kami tinggal, hutan membentang di kanan kiri. Aroma dedaunan dan tanah gembur yang familier menyambutku. Tidak ada yang membuatku lebih tenang selain aroma hutan. Dan tidak ada suara peradaban dalam jarak dekat yang membuatku cemas.

Di depan jalan setapak yang membelah hutan, Eka berdiri. Di depan kami, rumah-rumah yang sepertinya dulu sempat ditinggali dan menjadi sebuah pemukiman di sini, telah ditinggalkan tanpa pernah lagi dihuni. Hunian sempurna untuk pelarian seperti kami berdua.

Ah, maksudku, aku sendiri.

Ya ampun, kenapa aku selalu keceplosan memakai "kita" belakangan ini? Seolah aku membawa Eka atas kehendaknya saja.

"Ada apa?" Aku menghampiri Eka.

Gadis itu bertambah baik semenjak seminggu ini. Butuh waktu baginya untuk beradaptasi dengan tubuhnya yang sepertinya memiliki banyak perubahan, tapi tidak ada yang gawat. Dia bangun dengan ingatan yang utuh, meski tidak bisa mengingat persisnya bagaimana ia bisa berakhir di sini. Dan aku harap tetap seperti itu. Aku tidak ingin terbangun di satu pagi dan melihat Eka kehilangan kemampuan untuk tertawa atau semacamnya.

Eka menunjuk ke satu arah. "Lo bisa liat itu?"

Aku mengikuti arah pandangnya. Tidak ada apa pun selain pemandangan hijau selama aku menggunakan pandangan biasa. Tapi Eka tidak akan memanggilku untuk memandangi lautan hijau yang sudah aku lihat setiap hari selama satu tahun ini, jadi aku mengkonsentrasikan pandanganku lebih jeli.

Dan aku langsung membelalak.

"Sebuah desa ... sedang dibangun?"

Letaknya agak jauh di lembah di bawah sana. Aku menunduk, melihat jalan telah dibuka dan rumah-rumah baru dibangun dalam jarak hanya empat kilometer dari tempat kami berada sekarang. Orang-orang yang kelihatannya Manusia berkumpul di sana, membawa banyak peralatan untuk membangun rumah dan mulai memperbaiki rumah-rumah rusak satu demi satu.

Ah, itu sebuah desa. Ada sebuah desa di sana dan mereka mencoba merepopulasinya sekali lagi.

Tapi jaraknya terlalu dekat. Aku—

Blood and CurseOù les histoires vivent. Découvrez maintenant