4. Saka: Mereka yang Berubah

165 26 18
                                    

Satu hal merepotkan dari menjadi orang yang memiliki kompas moral adalah: kau tidak bisa mengabaikan ada satu mayat pun yang tergeletak tanpa dikubur.

Maksudku memang ada alasan higienis, penularan, dan beberapa tetek bengek lainnya yang harus diperhatikan selama masa-masa seperti ini, tapi ayolah, itu masalah Manusia. Bukan masalah makhluk sepertiku. Lagipula kenapa juga aku bisa peduli? Aku tidak akan tertular banyak hal kecuali cacing-cacing menyusahkan di luar sana. Tidak ada alasan bagi makhluk berusia lebih dari seribu tahun untuk peduli pada hal-hal kecil yang seharusnya bisa diabaikan.

Tapi kenyataan memang jauh dari angan.

Sekarang aku justru membawa mereka ke dalam pondokku yang ngomong-ngomong jadi tidak ubahnya kandang anjing setelah mereka datang. Sempit sekali. Aku tidak kebagian tempat untuk sekadar duduk.

Yang lebih buruk, aku tidak sekadar menemukan mayat. Yang ini masih berdenyut dan bernapas. Walau keduanya sama-sama dalam kondisi paling tidak jelas yang bisa aku saksikan dari siklus makhluk hidup.

Yang satunya masih berwujud kerangka berbalut kulit.

Yang satunya berwujud utuh tapi tidak juga bangun.

Padahal ini sudah empat hari.

Aku sudah mencoba berbagai cara untuk membangunkan mereka. Mulai dari berteriak keras-keras, menampar, memukul, bahkan menyiram mereka dengan segayung air yang aku bawa langsung dari mata air di hutan.

Tidak ada satu pun yang berhasil.

Yah, bukan berarti tidak ada cara lain.

Aku masih bisa menggunakan cara ekstrim seperti membuat suara seriuh perang atau marching band atau memberikan mereka hewan buas agar mereka bisa bangun karena tercabik atau nyaris tulis karena amukan binatang, tapi aku tidak mau dituduh sudah merusak ekosistem hutan.

Lagipula aku tidak mau lagi dituduh gila. Tidak peduli semenjengkelkan apa pun Manusia, aku tidak mau lagi sudi menggunakan upaya sebesar itu untuk sekadar membangunkan dua onggok anggota mereka yang terlalu malas untuk bangun.

Di samping tempat tidur yang sekarang penuh dan kursi yang juga penuh, aku berdiri seperti orang tolol, mengamati dua anak perempuan yang seenaknya menumpang di rumah ini tanpa bayar sewa.

Dan aku juga merutuki separuh diriku yang membawa mereka padahal tahu tidak akan dapat keuntungan apa-apa.

Padahal aku berniat untuk mengakhiri semuanya. Mengasingkan diri di sini dalam kesunyian seperti biasa ... atau mungkin mengurus satu-dua hal yang tidak bisa aku serahkan kepada orang lain.

Tapi kenyataannya....

"Kalau kau seperti itu, aku tidak akan heran orang-orang malah akan menari-nari di atas kuburmu," Kata-kata tajam kurang ajar dari Albert terngiang dalam benakku. "Alih-alih membantumu atau sekadar mendoakanmu."

Helaan napas berat keluar dari mulutku. "Seandainya saja aku memang benar akan dikubur saat mati nanti...."

Aku ingin menghina, melontarkan kata-kata pedas apa saja, tapi sadar hal itu hanya akan membuatku kelihatan menyedihkan, aku pun urung melakukannya.

Tidak seharusnya makhluk sepertiku menangisi kepergian satu Budaknya. Aku bisa mencari lagi.

Tapi dasar perasaan sialan, hanya karena sudah begitu lama menghabiskan waktu dicerca kata-kata kurang ajar dan tingkah laku yang sama sekali tidak hormat darinya, mendadak harus kehilangan itu semua ... tidak peduli walau aku sudah tahu akan begini jadinya ... tetap saja.....

Aku menyapukan tangan dengan gusar ke wajah, berharap dalam satu kali sapuan seperti itu, emosiku yang carut marut bisa kembali tertata.

Sinar keemasan menembus jendela dalam petak cahaya buram. Aku menoleh ke arah kaca jendela. Tirainya masih tertutup karena aku muak melihat petak cahaya yang buram oleh hamburan partikel. Rasanya debu-debu ini tidak hilang walau aku sudah mencuci setiap jengkal pondok ini sampai seribu kali.

Blood and CurseWhere stories live. Discover now