1. Runaway

304 44 19
                                    

Aku kehilangan hitungan ketika pohon utuh pertama muncul, membelah kegelapan tanpa ujung yang sebelumnya menemani malam-malamku yang terjaga. Sambil menarik napas panjang untuk merenggangkan semua otot yang tanpa terasa sudah sangat kaku, aku bersandar di sebuah pohon yang tampak tak ada bedanya dengan pohon-pohon lain di sekitar kami.

Ah, tidak, Ratna, apa kau buta? Tingginya saja sudah berbeda. Daunnya berbeda. Besar batangnya saja juga sudah berbeda.

"Ya ampun...." gusarku di tengah sepi. Aku dan kemampuanku yang sangat payah di alam liar.

Tanganku tanpa sadar sedikit terkulai ketika beristirahat sejenak, menyibakkan buntalan kecil yang sejak perjalanan ini dimulai, tidak pernah pergi dari dekapanku. Aroma amis darah, daging, dan organ segar menyeruak ketika seprai itu tersibak meski tidak ada angin di sekeliling kami.

Segumpal daging itu masih tidak bergerak. Masih sama seperti kali terakhir aku mengeceknya. Merah dan kecil, bentukan itu bahkan tidak serupa Manusia, jika bukan karena bentuk jantungnya yang berdetak dan tengkorak kepalanya yang mulai terbentuk.

Tanganku menyentuh jaringan rapuh itu. Kasar seperti serat rami, tapi bergumpal seperti tepung yang dilarutkan. Noda merah tercetak di jari jemariku ketika menyentuhnya. Aroma darah membaui tubuhku sekali lagi.

Tidak salah lagi, jika bertemu Manusia, aku pasti akan disangka orang sinting dengan tendensi membunuh tingkat tinggi.

Untungnya, aku belum bertemu satu manusia mana pun sampai detik ini.

Tunggu, aku tidak seharusnya bersyukur untuk hal itu kan?

Yah, terserahlah. Aku tidak mau memusingkan hal sepele seperti itu saat ini.

Yang penting aku tidak bertemu Manusia. Tidak ada keadaan yang bertambah kacau. Bisa-bisa ada anggapan aneh atau malah lebih buruk, mereka akan melaporkan ke siapa saja kalau aku masih hidup sambil membawa-bawa potongan tubuh termutilasi. Dan sim salabim, aku akan jadi buronan bagi siapa pun yang cukup jeli pada rumor, padahal aku sedang menghindari rumor macam apa pun.

Dan itu bukan hanya karena keberadaan diriku.

Diam-diam, aku melirik gumpalan daging di dalam dekapanku. "Mungkin memang benar, segalanya akan lebih mudah jika aku meninggalkanmu saja,"

Tapi aku tidak bisa. Di sanalah kesalahannya.

Aku tidak bisa meninggalkan makhluk ini sendirian di tengah api yang melalapnya. Aku tidak bisa membiarkannya mati. Jadi di sinilah aku, ikut mati bersamanya sambil berusaha menjaga sisa nama baik agar tidak berakhir sebagai 'monster gila' sekali lagi. Sudah cukup di jaman Belanda aku mendapat julukan Monster gila untuk kali terakhir. Jangan lagi.

"Ah, masa lalu, ya?" Mataku memandang angkasa, memandangi bintang gemintang yang dalam mataku terlihat jauh lebih terang daripada yang mereka gambarkan di buku-buku. "Kalau kita punya banyak waktu, Eka, mungkin aku akan menceritakan sedikit soal masa lalu yang pernah melintas di negeri ini. Sebagian mungkin buruk. Sebagian besar sangat buruk, tapi ada...." Aku memejamkan mata, mengingat kata 'rumah' yang kini terpotret abadi sebagai sesuatu tak terlupakan dalam diriku. "Ada juga beberapa hal yang—

Suaraku terpotong sebuah denyut yang datang tiba-tiba.

Aku tersentak. Kemudian aku menunduk, memandangi segumpal daging di dalam pelukanku. Mataku menyipit, mencoba mengamati satu perubahan apa pun dari sana.

Tanganku meraba denyut di leher dan dada. Tidak ada denyut sekuat itu di dalam tubuhku. Tidak salah lagi, denyut tadi bukan berasal dariku. Tapi berasal dari mana? Dari Eka yang bahkan belum punya mata untuk mengedip ini?

Blood and CurseWhere stories live. Discover now