Side Story: Sang Penjaga Makam

59 13 6
                                    

Sang penjaga makam muda belajar segala hal dari ayahnya.

Pertama, ia belajar bahwa di masa lalu, orang-orang di negara ini lebih mengenal mereka dengan sebutan "Tukang gali kubur" sebelum dikenal penjaga makam.

Sebuah lelucon pembuka, sang penjaga makam muda mengingatnya. Karen setelahnya, tidak ada lagi lelucon yang enak didengar.

Segera setelah ia belajar dan terbiasa dengan keseharian sebagai penjaga makam, ayahnya mulai mengajarinya hal-hal lain.

Dalam hitungan bulan, sang anak kecil yang sudah menjadi calon pewaris pekerjaan ayahnya di usia tujuh tahun itu lantas belajar berbagai cara penguburan jenazah untuk berbagai kalangan.

Dari sana, ia mengetahui betapa banyak perbedaan yang ia temukan pada jenazah dan orang-orang yang memperlakukannya. Ia memahami betapa kematian tidak mengenal waktu dan usia. Baik itu tua dan muda, mereka yang tubuhnya sebesar pohon kepala maupun sekecil seukuran telapak tangan, semuanya kembali ke liang lahat yang sama.

Atau begitulah yang ayahnya ajarkan.

Meski sama, satu hal mampu membedakan makam ke dalam dua golongan besar.

Ada yang terus menerus mengucurkan uang untuk perawatan makam kerabatnya setiap bulan, ada yang harus terus ditagih oleh ayahnya untuk terus melakukan pembayaran rutin agar makam-makam itu senantiasa terawat, maupun ... yang mendadak hilang setelah prosesi pemakaman selesai.

Ayahnya biasanya menegur tiga kali pada pembayaran yang terlambat sebelum mengabaikannya sama sekali. Membuat sang anak akhirnya bertanya dengan polos pada suatu hari:

"Apa keluarganya nggak akan marah kalau kita nggak urus?"

"Mereka sendiri yang memutuskan pembayaran, artinya emang mereka nggak mau ngurusin makam kerabat mereka itu," jawab sang ayah.

Tapi sang penjaga makam muda tidak begitu saja puas.

"Apa kita nggak bisa gantian mengurusi makam mereka?"

Sang ayah terdiam sejenak. Mata hitamnya yang telah kusam melirik sang anak sesaat sebelum kembali mencatat ke dalam buku tahunan dan menghitung uang yang dijepit dalam buku catatan.

"Nggak akan bisa," jawab sang ayah. "Kalaupun bisa, Ayah nggak akan melakukan itu."

Sang anak tertegun.

"Buat apa ngurusin susah-susah orang mati yang bahkan udah nggak diurus lagi sama keluarganya? Kalau keluarganya aja udah lupa, buat apa kita yang bukan siapa-siapa ini ngurusin sampai sebegitunya?"

Penjelasan itu membuat sang anak terdiam.

"Selain itu, daripada ngurusin orang yang udah mati," Sang ayah mengulurkan tangan dan mengelus kepala putranya, sang calon pewaris pekerjaan ini. "Mendingan Bapak ngurus apa yang Bapak punya."

Setelah mendengar penjelasan itu, sang anak tidak bertanya lagi. Itu adalah kali terakhir, ia bertanya soal makam-makam yang tidak diurus.

***

Pengajaran sang ayah kepada anaknya terus berlanjut di tahun-tahun berikutnya.

Di suatu hari, ayahnya bilang, dulu pemakaman lebih beragam lagi. Nisan yang digunakan ada beragam bentuknya. Mulai yang berbentuk salib sampai yang bentuknya panjang seperti tiang panjang. Sampai ke bambu runcing dan topi tentara khusus untuk mereka yang gugur di medan perang.

Tapi selepas perang besar yang kemudian diketahui sang anak sebagai Perang Merah, meletus, semua Manusia tanpa kecuali, dimakamkan dengan cara yang sama.

Tua dan muda, prajurit maupun rakyat sipil, semua dimakamkan di bawah nisan batu yang sama. Tidak memandang perbedaan apa pun. Semua peraturan hampir tidak ada lagi selepas perang yang meratakan segalanya.

Blood and CurseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang