15. Eka: Tidak Diduga

56 15 12
                                    

Aku tidak bisa tidak khawatir pada Ratna.

Bersama dengannya selama hampir dua tahun membuat kami mulai saling menghapal kebiasaan satu sama lain. Saling ... mengenal, jika aku memilih untuk menggunakan istilah yang lebih akrab.

Tapi, yah, seperti yang diharapkan dari persahabatan seseorang yang baru berusia seperempat abad lebih sedikit disandingkan dengan perempuan yang sudah berusia seribu tahun lebih, tidak banyak hal yang berjalan di antara kami.

Baik atau buruk, tidak banyak perubahan.

Seperti terjebak dalam arus waktu yang ... bleh, lebih baik tidak ada di sana sekalian daripada terjebak dan tidak bisa kabur sama sekali.

Kadang aku harus mencairkan suasana. Kadang aku harus menyadarkan Ratna yang sepertinya pikirannya entah mengembara ke alam seberang sebelah mana.

Kadang aku paham dia, kadang juga tidak. Di sebagian besar waktu, Ratna mencoba memahamiku seperti halnya aku memahami orang lain, tapi dengan kapasitasnya ... usaha Ratna tidak banyak membuahkan hasil. Tapi setidaknya aku lega. Ia tidak begitu banyak tersenyum aneh seperti dulu. Sekarang ia hanya tersenyum jika memang ia bahagia.

Di saat-saat normal, saat yang paling banyak mengisi hidupnya sekarang ini, Ratna lebih banyak tidak menunjukkan emosi. Untuk sebagian orang, ekspresi seperti itu jauh lebih menyeramkan daripada senyum terus menerus, tapi setidaknya aku tidak merasa perlu waspada padanya 24 jam nonstop, jadi ini bisa dibilang kondisi yang lumayan.

Sangat lumayan.

Tapi hari ini sikapnya kembali mencurigakan.

Maksudku, kami berencana untuk tinggal sementara di kota ini sebelum bertolak ke Jakarta, untuk sekadar mencari informasi di mana Om Saka berada, karena yah ... mungkin Ratna kangen Om-om galak satu itu.

Entahlah, aku, sih, tidak kangen sampai segitunya ingin ke kota orang untuk bertanya di mana Beliau berada.

Tapi karena kami berdua sama-sama buta akibat tidak pernah tersentuh peradaban banyak-banyak selama dua tahun ini, kami pun memulai pencarian dari level "Mencari jarum di tumpukan jerami".

Dimulai dari mencari informasi soal Jakarta dan sekitarnya di kota-kota sekeliling kota sembari mendekat perlahan-lahan. Menjaga jarak, siapa tahu ada Aruna lain yang datang juga ke kota ini.

Untungnya selain tingkah laku Ratna yang agak-agak mencurigakan, aku tidak mendapati apa pun di kota kecil ini untuk diwaspadai.

Memang pembatasa kotanya masih belum diperbaiki sehingga kota ini sangat rentan, apalagi kota Pandeglang ini tadinya adalah Basis Manusia. Meski kota ini dekat dengan Tanah Prajurit Serang, siapa yang tahu kapan serangan akan datang.

Aku yakin itu juga alasan Ratna ingin berpencar seperti ini.

Tidak diragukan lagi, gadis itu mencium adanya bahaya.

Pertanyaannya, bahaya apa yang ia atasi di luar sana sendirian?

"Matanya Teteh bagus juga." Aku melirik pemilik toko tempatku berada. Toko ini kecil. Hanya berisikan beberapa model senjata jarak pendek dan menengah tanpa ada senjata beramunisi. Semuanya diletakkan di dinding dan di tempat senjata. Selain senjata, bijih-bijih besi juga dipamerkan. Hidungku mencium aroma bara dan besi yang ditempa. Sepertinya tempat ini merangkup sebagai pandai besi.

"Biasa pakai katana?" Pemilik toko itu bertanya.

"Ya," jawabku sekenanya karena selama dua tahun ini, aku hanya berlatih dengan pedang kayu buatan tangan alih-alih pedang sungguhan.

Aku menimbang pedang itu, melihat bahannya dan lengkungnya.

"Hematit murni." Pemilik toko itu sekali lagi berkata.

Blood and CurseWhere stories live. Discover now