5. Awakening

139 27 14
                                    

Aku tersadar di tempat yang asing.

Entah sejak kapan, aku duduk di atas dipan kayu ini. Dengan bantal dan selimut tipis menutupi tubuhku. Dipan ini beralaskan selapis kain pink bermotif bunga-bunga. Tanganku menyentuh kain yang sepertinya berfungsi sebagai seprai itu. Lembut.

Berbeda dengan seprai berwarna lembut yang menutupi dipan tempatku tidur, sekelilingku ditutupi oleh warna coklat yang gelap dan sarat akan kesan suram yang tidak bersahabat. Kayu-kayu coklat berjejer membentuk dinding yang rapat. Jendela ditutupi oleh tirai yang aku yakin warna semulanya berwarna biru sebelum berubah menjadi kuning. Atap disangga oleh kayu-kayu tanpa plafon, membuatku bisa melihat struktur aliran listrik yang terpasang cukup baik di atas sana.

Ini jelas sebuah pondok. Dengan aroma debu yang minim dan perabot yang tertata rapih, pertanda kalau pondok ini bukannya terbengkalai. Aku mengendus lagi, tapi tidak bisa mendapatkan aroma apa-apa. Hanya sedikit aroma debu, apak, dan aroma lapuk kayu-kayuan penyusun pondok ini yang telah tua dan keropos.

Kewaspadaanku semakin meningkat.

Siapa pemilik tempat ini? Pertanyaan itu menggema dalam kepalaku yang tidak mendapatkan jawaban. Tidak seperti biasanya. Tidak adanya aroma makhluk hidup selain diriku yang ada di tempat ini mmebuatku semakin tidak nyaman. Kebingungan dan ketidak tahuan tidak terasa enak saat kau menyadarinya.

Kenapa aku bisa ada di sini?

Jawaban dari pertanyaan itu datang tidak lama kemudian. Aruna-aruna itu!

Aku segera memasang telinga. Mendengarkan dengan seksama dan tidak mendapatkan apa pun selain suara napasku sendiri. Sepertinya mereka tidak mengikuti sampai sini. Aku mengembuskan napas lega.

Tanganku kemudina meraba alas tempat tidur. Meraba kelembutannya dan merasakan kekosongan yang tidak bisa di sentuhanku. Rasanya ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang seharusnya aku genggam dan jaga.

"Eka!"

PIkiranku yang tiba-tiba tersadar membuat tubuhku melompat dari dipan dan mengedarkan pandang ke segala arah dengan cepat. Rupanya aku tidak perlu mencari terlalu jauh.

Sosok yang aku cari terbaring di dipan satu lagi, dipan yang bahkan tidak aku sadari keberadaannya. Aku segera bangkit dari tempat tidur.

Tubuhku melorot jatuh ke lantai. Lututku terasa seperti lepas dari sendinya dan jadi tidak berguna. Aku mengesampingkan segala tanya dan kebingungan untuk kembali berdiri tegap. Dengan hati-hati, tanpa berusaha bersandar pada apa pun, aku menghampiri Eka.

Dan jatuh berlutut di lantai, persis tepi dipan tempatnya terbaring. Napasku terengah-engah. Dadaku sesak. Mengambil napas panjang saja rasanya sangat sulit.

Ada apa ini? Tubuhku terasa lebih lemah dari sebelumnya. Tidak mungkin aku ... lelah kan? Aku baru berjalan beberapa langkah. Tidak mungkin aku—tidak seharusnya aku lelah secepat ini!

"Kukira tadi kau sekarat."

Ketika kata-kata Tuan Ananta itu bergema, aku mengerjap dan sekali lagi memandangi pondok tempatku berada.

Apa mungkin ... ah, tidak mungkin kan? Tuan Ananta sudah jauh tertinggal di belakang dan terakhir aku periksa, kami tidak diikuti. Kami seharusnya sudah jauh dari Tuan Ananta. Jadi aku tidak mungkin ada di sini. Tidak kecuali aku berjalan kembali ke arha aku datang.

Tidak, tidak mungkin aku sebodoh itu. Tidak mungkin ... kan?

Ish, mendadak saja aku jadi tidak yakin akan segala hal! Kenapa dengan aku ini! Lahir idiot saja sudah cukup parah dan sekarang aku ragu akan segala hal!

Blood and CurseWhere stories live. Discover now