2. Questions

228 35 10
                                    

Apes.

Belum apa-apa, agendaku sudah berantakan total.

Bertemu satu aruna asing sekarang terlihat baik-baik saja, dibandingkan dengan bertemu salah satu aruna yang paling tidak ingin kutemui sekarang ini. Ya Ampun, ketika aku sedang menghindari Gilang, kenapa aku justru bertemu salah satu aruna yang paling dekat dengannya saat ini?

Mungkinkah ini yang dimaksud oleh tante Rini sebagai kualat? Karma? Memangnya hal-hal seperti itu memang ada?

Yah, sekarang sepertinya aku harus memercayai takhyul itu. Dengan cara yang paling tidak menyenangkan.

Sambil berusaha tidak mengalihkan pandang lebih dulu, aku memeprtahankan senyum tak berbalas di wajahku. Senyum yang sekarang ini justru kelihatannya menantang maut di hadapan aruna yang wajahnya tidak tertebak—ralat, gelap luar biasa itu.

Marahkah? Entah, aku tidak paham isi pikiran pria ini. Jauh lebih tidak paham daripada aku memahami isi pikiran Tante Rini.

Eh, tunggu, kenapa juga aruna ini ada di sini? Kenapa dia tidak ada bersama Gilang di Jogjakarta?

Bagaimana ia bisa ada di sini?

Ya ampun, apa jangan-jangan benar dugaanku? Mendadak saja aku kepingin lari terbirit-birit dari sini. Apa benar sedari tadi aku belum meninggalkan Jogjakarta?

Saat sadar, sorot mata Tuan Ananta telah berpaling dariku. Sepasang mata merah itu terarah ke bungkusan kain yang ada di dalam dekapanku. Secara defensif, instingku mengambil alih. Kakiku mundur satu langkah. Tanganku mendekap Eka lebih erat, menyembunyikan apa yang tersisa dari gadis itu agar tersembunyi dari tatapan aruna satu ini.

"Apa Anda tertarik pada apa yang saya bawa, Tuan?" Tanganku mendekap tubuh itu lebih erat, merasakan detak jantungnya menguat—paling kuat—dari selama ini. "Karena itulah Anda ada di sini sekarang?'

Entah seperti apa wajahku saat ini. Tapi kelihatannya, wajahku tidak begitu sedap dipandang. Karena Tuan Ananta sampai membelalakkan mata.

Meski ekspresi itu hanya bertahan sekejap saja. Tidak butuh waktu dan usaha yang lama bagi beliau untuk kembali ke sikapnya yang biasa: netral dan tidak terbaca. Bahkan kemarahan yang tadi sempat aku lihat ketika kami bersitatap, sirna. Aku kembali tidak bisa membaca beliau, maupun menduga pikirannya.

"Mungkin," Sekali lagi mata aruna itu jatuh ke arah buntalan kain di dekapanku. Kali ini hanya sesaat. Setelahnya ia berpaling padaku tanpa pernah menatap kain dalam dekapanku lagi. Hampir terlihat seolah tidak tertarik.

Ah tidak, Ratna. Jangan terperdaya. Kau tahu sepandai apa para Aruna memainkan ekspresi mereka.

"Kau sendiri?"

Hah?

"Apa kau juga tertarik pada isi kain itu?" Tuan Ananta sedikit menelengkan kepalanya. "Apa karena itulah kau lari dari Jogjakarta tanpa memberi kabar dan membawa kabur dia juga bersamamu?"

Aku tidak tahu pertanyaan macam apa itu, tapi mulutku yang terkunci dan tidak mau membuak tidak peduli seberapa keras pun aku mencoba bicara membuatku sedikit waspada.

Benar juga. Bisa saja itu pertanyaan jebakan. Bisa saja ia sedang membawa alat perekam. Bisa saja ... Aku memandangi sekeliling, mencari-cari titik apa pun yang aneh, kemudian aku menatap Tuan Ananta, dari atas ke bawah. Mencari apa saja yang disembunyikan atau tersembuyni darinya.

Ah, ya, bisa saja disembunyikan di punggung untuk merekam suara. Atau di dalam pakaian.

"Kau masih saja pendiam."

Sekali lagi aku teralihkan. Kewaspadaanku menruun, disentak oleh satu pertanyaan aneh yang tadi terdengar.

"Hah?" Namun kali ini, aku tidak bisa menahan suaraku dari tidak bertanya keras-keras—alih-alih di dalam hati seperti sebelumnya.

Blood and CurseWhere stories live. Discover now