13. Contemplating

52 13 4
                                    

Enam bulan kemudian, Pinggir Basis Manusia, Pandeglang

Sudah tiga hari sejak aku dan Eka pindah ke wilayah ini. Tepat di tepi hutan, di dekat pagar pembatas yang kemungkinan besar adalah bekas pembatas Basis Manusia. Kami berdiam di sebuah rumah besar yang telah ditinggalkan.

Rumah itu bercat ... sedikit terlalu berwarna untuk dibilang putih.

Eka bilang, mungkin warnanya sebelum ini adalah pink. Karena tidak begitu paham soal itu, aku hanya mengangguk mengiyakan.

Rumah itu terdiri dari dua lantai. Beberapa bagian rumah berlubang besar dan beberapa lagi sudah runtuh. Dari arah puing-puingnya yang berada di dalam, jelas itu tanda seseorang sudah memasuki rumah ini secara paksa.

Ukuran lubangnya ganjil, jadi aku dan Eka berkeliling untuk memastikan tidak ada Agatya atau Aruna lain yang berdiam di sana. Cukup melegakan, memang tidak ada siapa-siapa selain kami di sana. Ada beberapa bercak darah kering yang tampak sudah sangat lama, tapi sisanya, baik-baik saja.

Aku bahkan tidak menemukan barang-barang aneh yang biasanya ditemukan di rumah kosong ini.

"Barang-barang aneh?" Eka bertanya saat aku tidak sengaja bergumam. "Kayak gimana maksudnya?"

"Yah, barang yang aneh, yang...." Aku berpikir sejenak. "Ah, ya, definisi aneh itu berbeda buat setiap jaman, ya. Hm ... kalau yang aneh untuk jaman ini...."

"Kita hidup di tengah-tengah peradaban Aruna dan baru beberapa waktu lalu bebas dari monster-monster raksasa pemangsa segalanya. Benda aneh apa yang bisa ditemukan ketika sekeliling lo aja udah absurd luar biasa begini?" Eka menyerocos. Aku agak kaget mendengarnya bicara protes panjang lebar begitu, tapi aku rasa ia hanya sedang kesal.

Entah kesal karena apa, aku tidak begitu paham. Mungkin sebaiknya aku tanyakan nanti.

"Ya, kamu bener," ujarku menyetujui, tidak mau mengundang kekesalan yang tidak perlu sekarang. "Aku nggak begitu banyak pindah juga selama dua abad ini, jadi nggak ada yang begitu aneh aku temukan di rumah-rumah terbengkalai begini."

Ada banyak debu, ada banyak rongsokan di dalam sana, mulai dari kursi dan berbagai perabotan yang tidak lagi utuh, lalu ada beberapa peralatan ganjil seperti tali dan gerobak kayu yang entah bagaimana bisa menyasar ke ruang yang sepertinya bekas kamar mandi. Dan banyak lagi hal-hal tua yang tidak terjelaskan yang kami temukan di dalam. Ada pertanyaan menggantung di udara soal sejarah rumah ini, bagaimana rumah ini dulu, siapa pemiliknya, dan kenapa ditinggalkan begitu saja, tapi pertanyaan itu tidak muncul di antara kami.

Tidak sampai satu malam berlalu tanpa halangan berarti. Tanpa ada kunjungan yang tidak kami inginkan.

***

"Menurut lo kenapa rumah ini ditinggalkan?"

Barulah keesokan paginya, Eka bertanya seperti itu. Sembari duduk di lantai, setelah menyingkirkan bersih semua perabotan yang menghalangi dan membersihkan debu seminimal mungkin, ia duduk bersandar di tembok dan menanyakan itu, sembari pandangannya mengarah ke luar jendela yang ada di sampingnya.

"Rumah segede ini, di tengah hutan, di luar Basis Manusia. Kenapa dibangun di sini? Kenapa juga ditinggalin?'

"Mungkin tadinya tempat tinggal Aruna atau Manusia yang pengen mengasingkan diri." Jumlahnya sangat sedikit, memang setelah Perang Merah, tapi aku yakin orang-orang seperti itu masih ada. Orang yang membangun pusat kesendirian mereka di tengah hutan tanpa bantuan siapa pun. "Tapi dari lubang yang besar kayak gitu, mungkin...."

"Mungkin aja rumah ini juga jadi korban kebringasan Agatya,"

Terlepas dari betapa muramnya kata-kata itu, kami tidak menemukan bekas Manusia ataupun perkelahian di sini. Yang menandakan jika pun agatya ada di sini, bercak darah yang kami lihat itu mungkin sudah terlalu lama. Jauh sebelum konflik Agatya. Atau setidaknya, tidak pernah ada yang mati di sini. Itu bagus.

Blood and CurseWhere stories live. Discover now