11. A Talk Between Two Souls

93 24 2
                                    

"Seperti masa lalu, ya?" Suaraku tidak bersambut. Pemuda yang duduk di sebelahku sama sekali tidak menyahut. Ia hanya diam, menatap hutan yang membentang di depan kami. Di belakang, suara kehidupan hilir-mudik terdengar.

Kami berdua duduk bersisian di pinggir desa. Duduk di atas rerumputan yang basah. Aku menggoyangkan kedua kaki, berusaha santai meski rasanya sulit sekali memikirkan kata yang akan diucapkan sekarang.

"Waktu itu kita juga ngobrol di tempat kayak gini, sambil nungguin Adit dan Ibu belanja."

Dari sudut mata, aku melihat pemuda di sampingku mengangguk. Hanya satu kali, tapi cukup dengan itu, aku yakin dia mendengarkan. Dan memerhatikan.

Kami berdua terdiam, membiarkan angin berembus di antara kamid an suara berlalu-lalang di belakang kami. Aku menoleh sejenak ke belakang, memastikan tidak ada sosok familier lain yang akan muncul. Mengingat mereka berdua jarang terpisahkan, aku sudah akan menduga mendapat kejutan lain. Tapi kali ini, Ghalih memang datang sendiri.

"Jarang banget, ya?" Aku memulai percakapan lagi. "Ke mana kak Adit? Dia baik-baik aja, kan?"

Kali ini tidak ada jawaban. Ghalih hanya terdiam. Tanpa senyum. Tanpa kata. Aku kembali duduk ke depan. Tidak lagi menatapnya. Aku mungkin bukan orang yang paham betul soal emosi, tapi wajah Ghalih, jelas adalah wajah orang yang akan meledak. Orang dengan sejuta kata tersimpan di ujung lidahnya dan sedang mengantri untuk ditumpahkan satu-satu.

"Kamu boleh ngomel, kok," ujarku meyakinkan, tapi anehnya, Ghalih justru membelalak. "Memaki, mencaci, mumpung aku ada di sini, aku akan terima semuanya."

Sesaat, aku sempat melihat Ghalih membelalak. Tapi masih saja ia tidak mau menatapku. Malahan, kepalanya menunduk semakin dalam.

"Tidak mungkin, kan?"

Aku mengerjap. "Hah?" Apanya yang tidak mungkin?

Kemudian Ghalih menatapku nanar. "Tidak mungkin aku akan mencaci kak Ratna!" Sepercik api yang ia tahan pun keluar. Gantian aku yang terdiam, ketika lelehan emosi itu mengucur keluar dari wajah Ghalih. Emosi yang ia pendam; kemarahan, kesedihan, semuanya bercampur dalam kedua matanya yang perlahan berubah merah. "Sekian lama tidak bertemu ... sekian lama ... tidak ada kabar ... mana mungkin hal pertama yang akan aku katakan ke kak Ratna ... adalah cacian?"

Aku terlonjak ketika Ghalih tiba-tiba memeluk.

"Ghalih...." Aku berujar tanpa balas memeluknya. "Bauku akan menempel. Kamu harus cuci—

"Kenapa?" Ghalih menukas. "Kenapa kak Ratna tidak pulang?" Pelukannya bertambah erat. Seperti masa lalu, Ghalih menyandarkan kepalanya ke pundakku. "Kenapa kak Ratna tidak pulang? Semua orang ... Ayah, Ibu, Adit ... semuanya menunggu Kakak pulang...."

Aku menatap lengan Ghalih yang merengkuh tubuhku. Ukuran tubuh pemuda ini telah lama tumbuh dua kali lebih besar dari ukuran tubuhku, tanpa aku benar sadar. Rasanya baru kemarin dia masih setinggi pundakku dan aku bisa memeluknya dan Adit sekaligus.

Betapa sekarang keadaan begitu terbalik.

Tanganku terangkat, hendak memeluknya balik seperti masa lalu. Tapi tanganku membeku di udara.

Benar juga. Aku bisa saja mengelak dari pelukan ini tadi. Aku melihatnya merentangkan tangan dan bisa saja menghindar, tapi kenapa....? Kenapa aku tidak menghindar dan malah membiarkannya memelukku? Nanti jika ada aruna yang membaui aromaku di bajunya ... jika ada yang tahu aku masih hidup selain keluargaku ... Eka bisa dalam bahaya, kan?

Ah, aku ... mungkin aku masih sama tololnya seperti diriku yang dulu.

Tidak ada yang berubah.

"Kamu tahu alasannya, Ghalih." Tanganku perlahan turun, tidak jadi membalas pelukannya. Ghalih harus melepaskanku. Dan aku harus melepaskan diri dari mereka.

Blood and CurseМесто, где живут истории. Откройте их для себя