12. Nara: Membiasakan Diri

96 23 8
                                    


Satu hal yang sulit dihadapi setelah kehilangan adalah penyesalan.

Membiasakan diri setelah semua kesakitan itu mereda, meninggalkan tubuhmu menjadi cangkang kosong penuh luka yang tidak akan sama lagi, tidak pernah terasa mudah setelah kau tahu dan mengenal perasaan selayaknya makhluk yang memiliki hati dan jiwa. Menjadi makhluk yang ditinggalkan arus waktu dan berada di garis waktu yang berbeda tidak pernah terasa sulit ketika aku tidak peduli pada apa pun selaim ambisi sendiri.

Setelah terikat dengan makhluk-makhluk berumur pendek ini, tidak pernah ada yang terasa mudah: terekspos ke depan mata ratusan orang yang tidak aku kenal, ada di dunia yang benar-benar terbuka dan penuh dengan cahaya terang, dan mengenal berbagai hal yang tidak pernah aku tahu pernah ada di dunia ini.

"Lagi-lagi Anda memasang ekspresi seperti itu." Aku melirik tidak minat ke samping, tepat saat Citra mengambil satu kotak ampul antidote. Wajahnya tertutup masker dan hair mask, tapi aku bisa mengenalinya dengan mudah. "Apa ada antidote yang sekali lagi gagal?"

Citra meletakkan tas dan setumpuk dokumen hasil pemeriksaan yang belum dirapihkan ke atas mejanya yang ada tepat di sampingku. Melihat kertas-kertas itu hanya membuatku semakin ingin menggencet ahli teknologi kami karena masih saja kesulitan menyediakan laptop dan computer yang memadai untuk sistem ini.

"Sejauh ini tidak ada infeksi yang aku temukan," ujarku, berhenti mengamati gumpalan yang tercetak di dalam gelas kaca.

Sudah satu tahun sejak krisis besar melanda negeri ini berakhir. Pembangunan terus berjalan dan aku mengawasi semua hal, takut masih ada sisa-sisa Agatya yang selamat, meski dugaan itu tidak terbukti. Tapi selama ada Aruna, akan selalu ada kemungkinan.

Mungkinkah kami harus suatu saat, kembali ke balik bayangan lagi? Kembali menjadi mitos di malam-malam gelap?

"Artinya semua specimen aman. Mereka seharusnya sudah bisa dilepaskan dari karantina dan boleh pulang besok," Citra berujar. "Ah, dan ada dua pendonor yang datang hari ini."

"Kau sudah tahu prosedurnya," ujarku, melepas semua alat pelindung. "Ada yang bertugas untuk bagian itu, kan?"

Citra terdiam. Aku meliriknya dan mendapati gadis itu mengernyit.

"Ada apa?"

"Jika saya dibolehkan mengadukan sentimen saya...." Ujarnya. "Saya lebih memilih melaporkannya pada Anda lebih dahulu soal donor-donor yang datang. Kalau soal jenazah saya mungkin akan mempertimbangkannya."

"Apa Theo menghambatmu?"

Citra mengedikkan bahu. "Tidak ada bukti konkrit, hanya sebuah intuisi."

Kenapa sekarang dia terdengar seperti seseorang yang tidak ingin aku ada di—ah, sepertinya aku harus keluar. Aku melihat arloji yang sudah retak di pergelangan tangan. Ada waktu sebentar sebelum aku harus bertolak ke Subang.

"Theo mungkin tidak bisa dipercaya sepenuhnya dengan otaknya yang agak kurang waras itu," Aku tidak repot mengelak dari fakta betapa dia sendiri sering membuatku tidak nyaman. "Tapi dia menguasai banyak cabang ilmu biologi dan punya lebih banyak koneksi dibanding aku, jadi aku mau mempercayakan itu kepadanya."

"Semoga saja dia tidak menggunakannya untuk sesuatu yang lain," Citra menghela napas, lalu melirik kepergianku. "Anda tahu, Anda bisa ambil waktu libur sesekali, kan?"

Sekali lagi, untuk kesekian kali, pertanyaan itu terlontar kepadaku. Dari mulut orang yang berbeda. Dari tempat yang berbeda. Tapi anehnya, semuanya bisa sama. Seolah mereka semua terkoneksi sesuatu sehingga bisa memiliki pikiran yang sama.

Ini aneh. Tapi aku lebih terpusat pada betapa menyebalkannya keanehan semacam ini daripada fenomena aneh itu sendiri.

"Aku pergi dulu."

Blood and CurseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang