3. Within My Grasp

150 29 9
                                    

Kelihatannya aku sudah berjalan cukup jauh.

Berjalan mungkin bukan kata yang tepat jika kau bergerak begitu cepat sampai kakimu sakit, tapi aku tidak punya pedanan kata lain yang lebih baik ataupun memikirkan kata yang lebih tepat. Seluruh tenagaku terpakai untuk membawa gadis ini keluar sejauh mungkin dari Tuan Ananta dan hanya itu.

Omong-omong soal gadis satu ini....

Aku diam-diam membuka lipatan selimut yang membungkus tubuh Eka. Sedari tadi aku merasakan tubuhnya memberat. Aroma anyir darah pun berkurang dari dirinya.

Benar saja. Tubuh Eka memang bertumbuh. Daging di kepalanya sudah utuh dan aku bisa melihat beberapa petak kulit muncul di sana. Hal yang sama juga terjadi pada jari-jari tangannya. Struktur pulang sudah tumbuh lengkap di tubuhnya.

"Pantas saja berat sekali," gumamku.

Di satu sisi, itu hal yang bagus. Eka jadi punya kemungkinan selamat lebih besar sekarang. Harapan yang aku punya selangkah lagi mendekati kenyataan. Tapi di sisi lain, itu tidak bagus untukku. Bebanku jadi bertambah. Padahal kekuatanku tidak terasa berada dalam kondisi prima sekarang.

Sekarat, kata itu sekali lagi bergema dalam kepalaku. Terus terngiang dalam kepalaku sejak pergi meninggalkan Tuan Ananta.

Aku sekarat? Benarkah itu? Aku sudah sekarat? Aku mendekati tahap kehidupan yang telah lama aku nantikan: kematian? Itu bukan mimpi lagi? Kalau begitu kenapa rasanya ... masih sangat msutahil? Aku masih belum bisa percaya. Rasanya benar-benar terlalu aneh. Seperti mengkhayal.

Aku menunduk memandangi jasad hidup di dalam dekapanku.

Jika aku mati sebelum Eka bisa pulih sepenuhnya, siapa yang akan mengurus anak ini?

Aku mengerjap sendiri. Mendadak tergugu, sadar akan betapa aneh pikiranku tadi.

Aku baru saja memikirkan orang lain. Bukan keluarga, tapi seseorang yang benar-benar lain. Sesuatu yang bahkan tidak pernah aku rasakan untuk Gilang. Sesuatu yang ... benar-benar berbeda, sebuah emosi aneh yang membuatku bisa mengulum senyum tanpa kau benar-benar sadari.

Yureka Caiden. Kehadirannya tidak pernah begitu berpengaruh besar. Tidak pernah terasa sampai detik ini dan ketika sadar, aku sudah bergerak terlalu jauh.

Apa kiranya ini? Perasaan yang menggerakkanku ini, apa namanya?

Pertanyaan-pertanyaan itu masih ada di benakku hingga saat ini. Tapi aku tidak lagi begitu bertanya-tanya seperti sebelumnya. Pertarungand engan Edric kiranya memberiku sebuah petunjuk. Sesuatu yang baru aku sadari di akhir akibat ketidak becusan otakku dalam berpikir.

Eka adalah salah satu alasan. Eka adalah alasanku bisa memutuskan akhir dari semua ini.

Dia berharga. Dia tidak pantas dibiarkan mati.

Aku tertawa sendiri, lalu menutup kembali bungkusan Eka. "Benar juga...."

Aku menolongnya karena aku merasa dia adalah alasan terbaikku saat ini. Alasanku belum bergerak. Alasanku untuk tidak mengakhiri segalanya di sini sekarang juga.

Aku masih perlu hidup.

"Apa ada yang lucu, Nona?"

Aku menoleh ke arah suara yang tidak terduga itu. Sepasang mata merah yang berpendar balas menatapku dari balik kegelapan.

Aruna.

***

Aku perlu mengedip satu kali lagi sebelum sosok dari balik kegelapan itu semakin jelas. Seorang laki-laki dengan tubuh beraroma kental darah, seolah ia baru saja dihujani oleh banyak sekali darah dan yang lebih membuatku waspada, darah itu bukan hanya berasal dari satu orang. Aku bahkan mencium darah Aruna lain dari tubuhnya. Aroma darahnya masih segar.

Blood and CurseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang